Krama Desa Adat Kapal saling lempar “tipat bantal” dalam tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon di depan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal, Badung. Tradisi ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta atas anugerah yang telah diberikan. (BP/Dokumen)
MANGUPURA, BALIPOST.com – Ratusan krama Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung, Kamis (5/10) mengelar upacara Aci Tabuh Rah Pengangon. Kegiatan yang ditujukan untuk memohon kesejahteraan ini dilaksanakan di areal depan Pura Desa lan Puseh Kapal, tepatnya di Jalan Raya Kapal, Mengwi Badung.

Aci Tabuh Rah Pengangon atau yang dikenal dengan perang ketupat tersebut diikuti oleh seluruh anggota Desa Adat Kapal. Sluruh krama desa dibagi menjadi dua bagian, yakni kubu selatan dan kubu utara. Mereka saling melempar ribuan tipat dan bantal ke arah berlawan layaknya perang dengan diiringi tabuh baleganjur.

Baca juga:  Kurang, Peran Pariwisata Sejahterakan "Krama" Bali

Bendesa Adat Kapal, Ketut Sudarsana, menerangkan perang ketupat merupakan ritual tahunan yang telah dilaksanakan secara turun temurun di Desa Adat Kapal. “Kegiatan ini bertujuan untuk memohon kesejahteraan bagi seluruh krama Desa Adat Kapal,” ucapnya.

Menurutnya, Aci Tabuh Rah Pengangon memiliki arti aci persembahan atau wujud syukur kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa dalam wujudnya sebagai Siwa, di mana Aci artinya persembahan, Tabuh berarti mengumandangkan, Rah berarti tenaga, dan Pengangon berarti nama lain daripada Shang Hyang Siwa. “Dalam implementasi kehidupan manusia, dilemparnya bantal dan tipat bertujuan untuk mempertemukan kedua simbol predana (perempuan) dan purusa (laki-laki), sehingga menghasilkan kesuburan,” jelasnya.

Baca juga:  OKB Menjadi Sasaran Empuk Sindikat Narkoba 

Seperti diketahui, siat tipat mulai dilaksanakan sejak tahun 1339 silam. Saat itu, kedatangan Patih Raja Bali Dinasti Singhasari terakhir, yakni Ki Kebo Waruya, beliau menerima mandat dari Raja Bali yang bernama Asta Sura Ratna Bumi Banten untuk menerenovasi Pura Purusada di Desa Kapal. Setibanya di Desa Adat Kapal beliau tergerak hatinya, karena melihat kondisi desa yang mengalami musim paceklik.

Melihat kondisi tersebut, beliau pun kemudian memohon kehadapan Ida Bhatara yang berstana di Candi Rara Pura Purusada agar berkenan melimpahkan waranugraha atau anugerah. Setelah memohon hal tersebut, beliau diberikan petunjuk agar melakukan upacara Aci yang dipersembahkan kepada Bhatara Siwa dengan menggunakan sarana tipat dan bantal yang diikuti oleh seluruh krama desa adat kapal untuk melaksanakannya. (Parwata/balipost)

Baca juga:  Menjaga Bumi, Menghadirkan Kesejahteraan
BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *