Gunung
Prosesi upacara di Pura Besakih. (BP/dok)
DENPASAR, BALIPOST.com – Umat Hindu khususnya di Bali berkewajiban untuk melakukan ritual dan persembahyangan terkait status awas Gunung Agung. Itu sebabnya, langkah-langkah yang sifatnya spiritual terus dilakukan dari sejak aktivitas vulkanik Gunung Agung dinyatakan aktif kembali. Dimulai dari rangkaian upacara di Pura Besakih.

“Kemudian itu menyebar di seluruh desa pakraman di Bali, untuk melaksanakan ritual atau upacara sekemampuannya dengan diikuti doa yang harapannya adalah untuk memohon keselamatan kalau toh Gunung Agung itu meletus semoga tidak berdampak pada malapetaka bagi masyarakat kita,” ujar Kakanwil Agama Provinsi Bali, I Nyoman Lastra

Rangkaian upacara itu, lanjut Lastra, terus berlangsung sampai puncaknya di purnama kapat di Pura Besakih. Mengingat, pura di kaki Gunung Agung itu memang menjadi pusatnya spiritual Hindu. Selain itu, sudah menjadi kewajiban umat untuk tidak pernah putus melaksanakan ritual dan persembahyangan di situ.

Baca juga:  Dana KUR Dikorupsi, Terdakwa Akui Dipakai Makan dan Dugem

“Artinya, kuat keinginan umat memohon pada Ida Sang Hyang Widi Wasa semoga Gunung Agung tidak membawa bencana bagi kehidupan kita. Imbauan ini kita sudah lakukan mengikuti apa yang telah diimbau oleh Parisadha, oleh MUDP, dan juga doa yang dilakukan FKUB di provinsi Bali,” jelasnya.

Menurut Lastra, sebagai umat beragama tentu hanya bisa memohon dan berharap. Hanya inilah jalan yang bisa dilakukan secara niskala. Sejalan dengan itu, pemerintah juga melakukan langkah antisipasi dari aspek sekala. Tentunya dalam menekan jumlah korban jiwa bila nanti terjadi erupsi.

Secara ritual atau upacara, ada proses harmonisasi melalui ritual mulang pakelem dan mecaru. Mecaru yang berasal dari urat kata “car” berarti keharmonisan atau menjadikan bumi ini harmonis dan cantik.

“Semua intinya ritual itu yang dilaksanakan untuk kepentingan menjaga keharmonisan,” jelasnya.

Baca juga:  KLB Diare di Banjar Sandan, Penularan Kemungkinan lewat Makanan

Terkait Pura Besakih, lanjut Lastra, saat ini memang menjadi salah satu destinasi pariwisata. Mengingat, indahnya tempat spiritual tertinggi bagi umat Hindu di Bali dan Indonesia pada umumnya ini. Sepanjang wisatawan tidak sampai masuk ke wilayah-wilayah sakral, Pura Besakih tidak perlu sampai ditutup sebagai destinasi wisata.

“Pura disamping untuk kedamaian spiritual, kan juga untuk kesejahteraan. Sepanjang dilakukan tidak melampaui batas-batas mana tempat yang sakral, mana yang propan itu kan tidak ada masalah,” terangnya.

Baca juga:  Kanwil Kemenkumham Bali Harmonisasi Peraturan "Family Office"

Lastra menambahkan, Badan Pengelola yang kini sudah dibentuk di Besakih salah satunya bertanggungjawab untuk menjaga batas-batas wilayah sakral itu. Dengan demikian, Pura Besakih tetap terjaga kesuciannya dan masyarakat di sekitarnya bisa hidup sejahtera.

Sebab, harmonisasi spiritual di hadapan Tuhan dan kesejahteraan umat merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. “Walaupun tidak boleh semua itu bebas dieksploitasi. Kalau semata-mata hedonis, itu yang tidak boleh,” pungkasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *