DENPASAR, BALIPOST.com – Topeng brutuk selama ini hanya dikenal ada di Desa Trunyan. Tepatnya di Pura Pancering Jagat desa setempat, terdapat 21 buah topeng brutuk yang menjadi unen-unen Ratu Pancering Jagat. Akan tetapi, koleksi topeng brutuk di Museum Bali membuka wawasan lain yang hampir tak pernah terkuak.
“Topeng brutuk ini satu-satunya yang ada di Museum Bali. Setelah kami melihat, topeng brutuk ini tidak dari Trunyan datangnya. Tapi dari Desa Pejukutan, Nusa Penida. Ternyata topeng brutuk ada juga di tempat lain,” ujar Budayawan, I Made Bandem sembari menunjukkan topeng brutuk koleksi Museum Bali dalam acara Demonstrasi Topeng Koleksi Museum Bali di museum setempat, Rabu (11/10).
Bandem menambahkan, bentuk topeng brutuk dari Nusa Penida tampak sedikit kuno dan primitive. Terutama dalam ekspresi topeng yang berbeda dengan rangda-rangda yang lain. Topeng brutuk ini juga bisa disebut barong brutuk karena ada topeng dan gelungan yang menjadi satu. Diperkirakan, topeng ini dibawa ke Museum Bali sekitar tahun 1920-an.
“Kedepan kami masih akan mempelajari apakah ada desa lain lagi yang memiliki topeng kuno semacam ini. Kelemahan kita memang pada identifikasi. Termasuk kita perlu mengidentifikasi topeng-topeng yang ada di museum, kapan dibawa, siapa yang memberikan, fungsinya seperti apa,” paparnya.
Budayawan, I Wayan Dibia mengatakan, sebagian besar koleksi topeng di Museum Bali yang berjumlah 386 buah adalah untuk tari-tarian. Pasalnya, para pembuat topeng di Bali pada jamannya adalah para penggemar seni pertunjukan. Mulai dari pertunjukan yang sifatnya sakral hingga sekuler. Namun, topeng-topeng tersebut belum dikelompokkan sedemikian rupa.
“Harus segera di mulai supaya kita tahu pengelompokan topeng, apakah ini topeng bebarongan, topeng wayang wong, topeng petopengan, dan topeng-topeng yang lain. Seperti tadi ada topeng barong brutuk, barong landung, barong macan,” jelas pria yang sempat mendemonstrasikan beberapa tari menggunakan topeng koleksi Museum Bali tersebut.
Menurut Dibia, informasi yang cukup terkait identifikasi topeng akan membantu masyarakat untuk mengetahui sejarah maupun fungsi dari topeng itu sendiri. Terlebih, dari begitu banyaknya koleksi topeng di Museum Bali, belum semuanya pernah dipamerkan pada masyarakat. Padahal masyarakat, terutama lagi pengamat seni perlu tahu tentang bagaimana kehidupan topeng itu yang sebenarnya.
“Karena selama ini kan di pesta seni itu kita cenderung mementaskan topeng dalam setting panggung yang terlalu luas. Padahal kehebatan topeng itu akan terjadi ketika penonton itu bisa mengamati, bisa menikmati setiap detail dari gerakan, ekspresi mukanya dia,” jelasnya.
Ahli Tari dan Seniman Tapel, I Ketut Kodi melihat koleksi topeng di Museum Bali dari segi umur memang sudah tua. Namun, tidak semuanya bisa dikatakan bagus dari segi karakter. Selain itu, pemeliharaan secara artistik juga belum dilakukan secara maksimal. Akibatnya, ada beberapa topeng yang kumis-nya rontok atau kuping-nya hilang. “Karakternya yang menentukan topeng itu bagus dan tidak bagus. Masalah penggarapnya tidak, topeng-topeng yang lama di dalamnya masih kurang bersih. Agak kasar tapi karakternya, sepertinya dia memang menggali karakter ke dalam topeng atau memasukkan karakter ke dalam topeng,” ujarnya.
Menurut Kodi, pada jaman dulu seniman membuat topeng dengan yoga. Bukan yoga dalam artian bertapa, tapi berkonsentrasi, mencari hari yang baik, dan menggunakan kayu yang tumbuh di tempat baik pula. Lantaran terlalu berkonsentrasi, seniman umumnya tidak boleh diganggu lantaran berfikir dunia hanya milik dirinya dan bahan untuk membuat topeng saja.
“Pembuatan topeng itu kadang-kadang memang tumbuh dari kayunya, melihat kayunya ada karakter disini. Ini dia pahat, terus dia ikuti. Atau dia membawa karakter, diperkosa kayunya. Yang baik itu sebenarnya tidak memperkosa kayu, tapi kita melihat apa yang ada dibalik kayu,” tandasnya. (rindra/balipost)