DENPASAR, BALIPOST.com – Cagar budaya merupakan salah satu investasi pariwisata budaya di Bali. Itulah mengapa keberadaannya sangat penting untuk dipromosikan kepada wisatawan domestik dan mancanegara.
Sayangnya, sejarah, cerita atau mitologi dibalik cagar budaya tidak dipaparkan dengan tepat oleh para pemandu wisata atau guide. “Dari pengamatan kami selama ini memang masih sangat minim sekali pemahaman guide tentang sejarah atau mitologi suatu cagar budaya. Entah karena malas mencari referensi atau memang referensinya yang kurang,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Dewa Putu Beratha di Denpasar, Selasa (17/10).
Beratha menambahkan, kebanyakan wisatawan dilepas begitu saja ketika diajak ke destinasi yang merupakan cagar budaya. Artinya, mereka hanya berkeliling melihat keunikan bangunan atau arsitektur tanpa mengetahui cerita dibaliknya. Padahal, cagar budaya yang ada di Bali berbeda dengan yang ada di luar Bali karena merupakan living culture atau masih hidup. Semua cagar budaya di Pulau Dewata, dipastikan memiliki historis, cerita, dan mitologinya sendiri.
“Perlu difasilitasi, apakah setiap destinasi pariwisata menerbitkan semacam brosur. Atau HPI yang menerbitkan, yang berisi tentang histori atau mitologi di masing-masing cagar budaya. Kalau bisa dikemas dalam beberapa bahasa justru akan sangat menarik. Cerita inilah yang akan dibawa pulang wisatawan dan diceritakan lagi di negara asalnya,” jelasnya.
Di sisi lain, lanjut Beratha, cagar budaya di Bali juga disakralkan dan disucikan. Disini, peran guide dibutuhkan pula untuk turut menjaga kesucian dan kesakralannya pada saat mengantar wisatawan ke tempat itu. Termasuk ikut melakukan promosi agar lebih banyak lagi wisatawan yang datang. Sebab, kunjungan wisatawan dapat menumbuhkan perekonomian dan mensejahterakan masyarakat, khususnya di sekitar cagar budaya.
“Di Bali, cagar budaya kebanyakan dalam bentuk Pura. Tentu dana-dana yang didapat dari pariwisata dapat dipakai juga untuk kepentingan pemeliharaan cagar budaya itu sendiri, serta meringankan biaya untuk upacara disana,” paparnya.
Kepala Pimpinan Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, I Wayan Muliarsa mengatakan guide maupun driver pariwisata memang harus memahami dan menguasai kebudayaan Bali. Lebih khusus lagi cagar budaya sebagai objek atau modal pariwisata Bali. Bila tidak, maka informasi yang diberikan guide kepada wisatawan tidak akan jelas. Ujung-ujungnya, cagar budaya itu tidak akan memiliki daya tarik lagi bagi wisatawan.
“Disamping itu, di era sekarang para guide itu semakin banyak. Tidak hanya dari masyarakat Bali saja, tapi juga dari luar Bali. Sudah tentu yang orang Bali harus paham dan menguasai sebagai penanda khusus atau identifikasi pramuwisata Bali,” imbuhnya.
Menurut Muliarsa, kekhususan itu harus ditunjukkan kepada wisatawan bahwa guide Bali memiliki kelas tersendiri yang membedakan dengan guide luar Bali. Mengingat, para guide dan driver pariwisata merupakan ujung tombak dalam pelestarian cagar budaya. Selain itu, pemahaman tentang kebudayaan termasuk cagar budaya merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan lisensi sebagai guide di Pulau Seribu Pura ini. (Rindra Devita/balipost)