Trimedya Panjaitan saat diskusi terkait pembentukan Densus Tipikor oleh kepolisian. (BP/har)
JAKARTA, BALIPOST.com-Wakil Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan mengungkapkan kekhawatirannya dengan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) yang akan dibentuk Polri. Salah satunya terkait integritas dan independensi Densus Tipikor Polri saat menjalankan tugas apabila nanti dibentuk.

“Selain soal penggajian dan segala macam sesuai yang dibicarakan, bagaimana dengan integritas yang akan duduk disana. Mungkin nggak, karena polisi dan jaksa kalau berada di kepolisian dan kejaksaan, idealismenya akan berbeda pada saat dia ditugaskan di KPK,” kata Trimedya Panjaitan dalam diskusi ‘Densus Tipikor, Kewenangan dan Regulasinya’ di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/10).

Dia mengakui, dari struktur organisasi, ada perbedaan antara KPK sebagai lembaga independen yang bertanggungjawab di bawah Presiden, sedangkan Densus Tipikor Polri lembaga yang berafiliasi di bawah kendali Kapolri. Bukan tidak mungkin ada perasaan sungkan ketika harus menangani perkara atasannya.

Selain itu juga dengan personel yang akan direkrut, bagaimana dari 5.600 penyidik Densus Tipikor yang akan direkrut itu, sekian persennya melakukan penyimpangan. “Karena kalau di KPK pegawainya juga 1000-1500 mungkin penyidiknya sekitar 200-300, gampang kontrolnya. Kalau di Densus kontrol 5.600 ada yang mis saja 1 persen, kan banyak jumlahnya,” ujarnya.

Baca juga:  Pelaku Skiming Asal Bulgaria Diadili

Pengamat Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar mengakui independensi penyidik Densus Tipikor perlu mendapat perhatian serius. “Independensi itu harus ada, supaya tidak sia-sia Densus dibuat. Supaya dia bisa menangani perkara-perkara yang lintas kekuasaan,” katanya.

Terkait payung hukumnya, dia mengatakan selain pembentukan Densus Tipikor yang berbekal UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, ada Intruksi Presiden Nomor 1 dan 3 Tahun 2017 tentang pengawasan dan pembinaan pemerintah daerah dan percepatan proyek-proyek strategis nasional.

Isinya memerintahkan Kejaksaan Agung dan Kepolisian, untuk setiap proyek itu jangan dulu dipidanakan, didekati dengan cara administratif. Kalau ada kerugian negara disuruh mengembalikan kerugian negara ke instansinya, atau pejabat yang bertanggungjawab, maka pejabat itu yang harus mengembalikan.

Baca juga:  Deteksi Dini, Sinergi Polri-TNI Diperkuat

PP dan Inpres dinilai bertentangan dengan semangat tinggi pemberantasan korupsi dari rencana pembentukan Densus Tipikor. “Di sisi lain, polisi dan kejaksaan itu di bawah presiden. Artinya garis komando presiden harus tetap ada,” katanya.

Meski dinilai banyak memiliki kendala dan hambatan, namun DPR RI menilai pembentukan Densus Tipikor bukanlah langkah mundur. “Dan kejaksaan juga sudah ketemu, sama juga prinsipnya setuju adanya Densus Tipikor. Cuma kejaksaan tidak mau melanggar hukum,” kata Trimdeya Panjaitan.

Sebagai bentuk dukungan terhadap Densus Tipikor, politisi PDI Perjuangan ini mengungkapkan Badan Anggaran (Banggar) DPR telah menyetujui anggaran sebesar Rp 800 miliar dari Rp 2,6 triliun yang diusulkan Polri yang anggarannya dari APBN 2018. “Ini uji coba sampai 15 tahun dengan selalu diawasi penggunaan dananya sehingga dapat mencegah penyelewenangan,” kata Trimedya.

Baca juga:  Enam Orang Pejudi Sabung Ayam Diamankan

Trimedya mengatakan sependapat dengan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif yang menyatakan dalam rapat koordinasi di Komisi III DPR, Senin (16/10) bahwa korupsi harus dikeroyok oleh berbagai semua elemen masyarakat. Pencegahan korupsi sudah harus digalakkan karena jika ditelusuri praktik korupsi sudah mengkhawatirkan. “Bayangkan saja, setiap proyek itu dana untuk realisasi pelaksanaan hanya 60 persen dari APBN yang dianggarkan, 40 persennya hilang karena dana ini dibagi-bagi,” ucapnya.

Densus Tipikor menurutnya dibentuk untuk menyasar praktik korupsi di bawah Rp 1 miliar, sedangkan KPK menyasar korupsi di atas Rp 1 miliar. “Jadi ada pembagian masing-masing tugas, jangan dipertentangkan antara Densus Tipikor dengan KPK,” kata Trimedya.

Densus Tipikor diharapkan sudah mulai beroperasi Maret 2018, dan untuk tahun pertama ditempatkan hanya untuk tingkat Polda saja, setelah itu berikutnya diharapkan dikembangkan hingga ke tingkat Polres. (Hardianto/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *