JAKARTA, BALIPOST.com – Presiden RI ketiga Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie mengatakan kesuksesan pembangunan bukanlah diukur dari meningkatnya indeks Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product (GDP) yang ada tetapi diukur dari seberapa besar kepemilikan modalnya yang bisa dikuasai rakyat Indonesia. Bukan penguasaan produksi oleh asing.
“Bagaimana pemerataannya? Pemerataan penting karena menentukan kualitas kehidupan. Pemerataan juga mengenai pendapatan kesejahteraan, lapangan pekerjaan dan sebagainya. Bukan katakan dari GDP akan begini (naik), tetapi kapitalnya punya dia (asing). Dan kita hanya cukup menjadi pembantu rumah tangga,” kata BJ Habibie dalam Seminar Nasional bertema yang digelar Fraksi Golkar MPR R di Jakarta, Kamis (19/10).
Oleh karena itu, menurut Habibie, Golkar harus mengutamakan sumber daya manusia (SDM) dengan baik agar menciptakan kader yang berperilaku dan memiliki semangat juang yang baik. “Golkar harus menghasilkan kader-kader yang lebih baik. Kalau dia memang pejuang, dia akan berjuang kalau dia tidak baik maka dia pasti akan malu,” kata Habibie.
Untuk itu pula, Habibie menekankan perlunya revitalisasi ideologi Pancasila. “Revitalisasi Pancasila dari kacamata ini adalah bukan berupa dasar-dasar pemikiran, bukan juga filsafat menarik tapi bagaimana SDM menjadi yang utama. Bagaimana SDM berperan, dan bagaimana Golkar menyiapkan kader masa depan bangsa yang SDM kualitasnya harus jitu,” kata Habibie.
Terkait itu, ideologi Pancasila harus benar-benar dapat dipahami dan dilaksanakan ke seluruh masyarakat Indonesia. “Golkar itu harus memikirkan bagaimana pemerataan di bumi Indonesia dengan Pancasila,” ujarnya.
Wakil Ketua MPR RI Mahyudin mengakui rendahnya kualitas SDM telah membuat bangsa asing menguasai rakyat Indonesia meski berada di negeri sendiri. “Bahkan bicara air. Ternyata bukan punya kita. Sudah punya Danone (perusahaan air mineral), punyanya orang Perancis,” sindir Mahyudin.
Dia berharap Indonesia mampu menghasilkan putra terbaik seperti BJ Habibie yang mampu membuat pesawat terbang dengan kepandaian yang dimilikinya. Sayangnya, negara belum mampu sepenuhnya memberi fasilitas kepada anak-anak Indonesia untuk emmperoleh pendidikan seperti yang diharapkan.
Minimnya fasilitas pendidikan terutama bisa dilihat di pelosok negeri ini yaitu banyak anak-anak yang sekolah masih menggunakan sandal, gedung sekolah yang rusak, serta fasilitas sekolah yang sangat kurang. “Ukuran suskes pendidikan, bisa dilihat kalau sudah pintar dari bangsa asing. Baru bisaa dikatakan hilang dari kebodohan. Jadi harusnya bicara siapkan fasilitas bangsa agar dapat menciptakan Habibie-Habibie lagi,” katanya. (Hardianto/balipost)