AMLAPURA, BALIPOST.com – Kawasan Pura Agung Besakih berada pada zona awas. Melihat situasi ini, seluruh aktivitas pariwisata di tempat ini terhenti, karena zona awas harus dikosongkan. Situasi ini tentu membuat MO Besakih gigit jari, karena tak lagi ada wisatawan berkunjung.
Pemkab Karangasem meminta MO Besakih sebaiknya dibekukan dulu, sambil menunggu perkembangan lebih lanjut dari aktivitas vulkanik Gunung Agung. Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumatri didampingi Wakil Bupati Wayan Artha Dipa, belum lama ini mengatakan MO Besakih mesti dibekukan atau dihentikan operasionalnya sementara, karena dilarang melakukan aktivitas apapun pada zona awas.
Sikap ini, untuk menghormati aturan BNPB bersama Satgas Siaga Bencana Gunung Agung. “Lagi pula kan disana zona awas, MO Besakih juga tak mungkin bisa bekerja karena zona awas harus steril. Jadi aktivitasnya sebaiknya dihentikan saja dulu,” kata Bupati Mas Sumatri.
Waki Bupati Karangasem I Wayan Artha Dipa, menambahkan, Kawasan Pura Besakih masuk pada Kawasan Rawan Bencana (KRB) III atau radius 6 km dari kepundan Gunung Agung. Artinya, masyarakat setempat saja harus mengungsi dari sana karena wilayah itu harus dikosongkan. Apalagi, untuk kegiatan pariwisata.
Sehingga, dia juga sependapat kalau MO Besakih sebagai lembaga di bawah Badan Pengelola Kawasan Pura Besakih yang dibentuk Pemprov Bali, sebaiknya dihentikan dulu operasionalnya. “Sekarang kalau ditanya bagaimana nasib pegawai di dalamnya, nantilah dipikirkan itu. Sekarang yang penting ikuti arahan pemerintah, Satgas maupun BNPB, untuk mengurangi dampak resiko bencana. Ini yang harus diutamakan dulu,” imbuhnya.
Disinggung adanya wacana, agar menghentikan eksploitasi Pura Besakih sebagai objek wisata, Wabup Artha Dipa, belum berani berkomentar terlalu jauh. Sebab, kalau menyinggung wacana ini, maka perdebatannya akan kembali pada tata ruang Bali, yang masih mengatur Kawasan Pura Besakih sebagai daya tarik pariwisata Bali.
Selain itu, kalau menyikapi wacana ini lebih serius, perda yang mengatur Kawasan Pura Besakih sebagai daya tarik wisata juga harus di-review lagi. Jalan tengahnya, kata Wabup Artha Dipa, mungkin ke depan Badan Pengelola khususnya MO Besakih perlu mempertegas lagi, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di Kawasan Pura Agung Besakih.
Kemudian, batasan-batasan Pura Agung Besakih yang layak dan tidak layak dieksploitasi untuk kepentingan pariwisata. “Ini harus jelas ke depannya,” tegas Wabup Artha Dipa.
Pembentukan Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih ini sejak awal memang sangat alot, antara Desa Pakraman Besakih dengan Pemkab Karangasem saat itu. Khususnya titik temu pembagian keuntungannnya agar dinilai adil. Sebelum akhirnya, pembentukan Badan Pengelola ini diambil alih oleh Pemprov Bali, karena deadlock berbulan-bulan.
Adanya Badan Pengelola memang membuat pengelolaan Kawasan Pura Agung Besakih lebih tertata, karena manajemen pengelolaannya jauh lebih bagus. Bahkan, adanya Badan Pengelola ini cukup mengurangi permasalahan utama sebelumnya, seperti pemerasan terhadap wisatawan oleh oknum pramuwisata setempat.
Tetapi, belakangan MO Besakih sebagai petugas teknis di lapangan juga sempat menjadi sorotan legislator. Karena dinilai terlalu gemuk. Pemkab Karangasem sendiri pun sempat gigit jari. Sebab, dengan pengelolaan melalui MO Besakih dengan puluhan pegawai di dalamnya, PAD yang sampai ke Pemkab Karangasem justru jauh turun, karena hanya dapat 25 persen dari total keuntungan pengelolaan Kawasan Pura Agung Besakih.
Bahkan, ini sempat menjadi sorotan di DPRD Karangasem saat rapat kerja tiap komisi dengan seluruh OPD penghasil. Sebab, setelah dikelola MO Besakih, terungkap saat itu PAD yang masuk ke Pemkab Karangasem hanya Rp 400 juta. Sedangkan, dulu saat masih dikelola sepenuhnya oleh Pemkab Karangasem PAD yang masuk dari pengelolaan Kawasan Pura Agung Besakih mencapai Rp 1,2 miliar. (Bagiarta/balipost)