Ilustrasi. (BP/dok)
DENPASAR, BALIPOST.com – Anak-anak yang menjadi korban pedofilia berpotensi menjadi pelaku pedofilia di kemudian hari. Hal ini tidak terlepas dari trauma psikis yang dialami akibat kekerasan seksual tersebut.

Oleh karena itu, anak-anak yang menjadi korban harus mendapatkan perhatian lebih agar bisa melupakan traumanya. Terutama ditangani melalui proses rehabilitasi.

“Kekerasan yang terjadi pada anak, itu akan dirasakan oleh anak sampai dia dewasa. Akan memberikan trauma psikis yang tidak bisa disembuhkan dalam waktu singkat. Meskipun memang dampak tindak kekerasan seksual berbeda-beda, tergantung dari bagaimana perlakuan pelaku terhadap korban,” ujar Deputi Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dr. Ir. Lies Rosdianty, M.Si, Senin (23/10).

Baca juga:  Belasan Anjing K-9 Polda Jawa Barat Dikerahkan Cari Korban Gempa

Lies menambahkan, pelaku pedofilia sebagian besar memiliki pengalaman masa lalu sebagai korban pedofilia di masa kanak-kanaknya. Saat ini, pelaku dan modus pedofilia sudah semakin canggih.

Korban umumnya diiming-imingi sesuatu yang membuat mereka senang pada awalnya. Seperti diberikan bantuan beasiswa, dijadikan anak asuh oleh pelaku, hingga diberikan barang dan aneka fasilitas. “Lebih mengkhawatirkan lagi ternyata fenomena pedofilia sudah berbentuk suatu sindikasi. Dalam artian, pelaku pedofilia memiliki jaringan dengan beberapa pelaku pedofilia lainnya di seluruh dunia. Mereka berkomunikasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, baik website, email maupun media sosial,” jelasnya.

Di Indonesia sendiri, lanjut Lies, kasus pedofilia telah berlangsung sejak lama. Beberapa diantaranya terjadi di Bali, khususnya Buleleng dan Karangasem.

Baca juga:  Ribuan ASN di Tabanan Divaksinasi Booster Kedua

Pemerintah sejatinya sudah membuat berbagai peraturan perundang-undangan untuk melindungi korban maupun pemidanaan pelaku. Sanksi bagi pelaku tidak hanya sebatas hukuman penjara, tapi juga dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas, tindakan kebiri kimia, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. “Sudah banyak peraturan perundang-undangan sebagai upaya pencegahan. Tapi semua tidak akan berhasil tanpa dukungan kita semua,” tandasnya.

Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan, Indonesia dalam lima tahun terakhir berada dalam kondisi darurat kejahatan seksual pada anak. Ditambah lagi, anak-anak yang menjadi korban belum dipulihkan serta belum diberikan sebuah ganti rugi. “Undang-undang kita itu lebih banyak mengatur pelaku, yang mengatur tentang korbannya itu sedikit. Mulai kitab Undang-undang pidana maupun undang-undang yang lain bertalian dengan kejahatan-kejahatan seksual itu lebih banyak pada porsi pelaku, bukan korban,” ujarnya.

Baca juga:  Singapura Alami Kenaikan Kasus COVID-19, Didominasi Subvarian XBB

Arist menambahkan, korban kejahatan seksual seperti pedofilia harus mendapatkan perlindungan maksimal. Kalau tidak, masa depan anak-anak yang menjadi korban akan semakin runyam.

Pemulihan yang mereka butuhkan tidak hanya sebatas hak asasinya. Tapi juga pemulihan tentang bagaimana beban psikologisnya. “Kejahatan seksual ini setara dengan kejahatan terorisme, korupsi, dan narkoba yang bisa dihukum mati. Angkanya terus meningkat, bukan hanya di daerah-daerah wisata tapi di daerah-daerah yang mestinya membuat rasa nyaman seperti rumah, sekolah, dan pondok-pondok,” tandasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *