DENPASAR, BALIPOST.com – I Made Wijaya alias Yonda, oknum anggota DPRD Badung sekaligus Bandesa Adat Tanjung Benoa, bersama lima orang rekannya, Kamis (26/10) mengikuti sidang perdana di PN Denpasar. Dalam berkas terpisah, Yonda didakwa atas dugaan perkara tahura, yakni dugaan pelanggaran konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (KSDA-E).
Dakwaan dibacakan JPU Edy Arta Wijaya, Edwin Beslar dkk. Di hadapan majelis hakim pimpinan Ketut Tirta, jaksa menguraikan bahwa Wijaya tidak sendirian. Namun Wijaya sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan dengan I Made Marna, I Ketut Sukada, I Made Mentra, I Made Dwi Widnyana dan I Made Suartha.
Dalam dakwaan tersebut, dijelaskan bahwa Wijaya selaku bandesa adat mendiskusikan program Panca Pesona mengajak Marna. Hal itu, kata jaksa disampaikan ke masyarakat namun masyarakat tidak ada bersedia. “Lalu terdakwa mengajak Made Marna untuk bergabung dalam program tersebut dan disanggupi Made Marna,” tandas jaksa.
Masih menurut jaksa, setelah Marna menyanggupi program Panca Pesona itu, Marna mengajak Made Dwi Widnyana untuk bergabung dan Dwi Widnyana mengatakan akan mencari teman. Pada Desember 2016, Marna diajak Widnyana ke tempat terdakwa Wijaya alias Yonda di Tanjung Benoa. Di sana sudah ada Ketut Sukada, Made Mentra, Made Suartha. Kala itu, sambung jaksa, dijelaskan bahwa program Panca Pesona tidak ada provit oriented, sehingga orang yang diajak hanya yang mau bekerja.
Dari sana disampaikan bahwa lokasi yang akan dilakukan kegiatan Panca Pesona adalah milik kehutanan yang merupakan kawasan hutan. “Terdakwa Wijaya menanggapi dan kawasan tersebut akan dimohonkan untuk dijadikan kawasan palemahan Tanjung Benoa,” urai jaksa.
Pada 28 Desember, Wijaya mengeluarkan lima surat tugas yang ditandatangani terdakwa selaku Bandesa Adat Tanjung Benoa. Surat tersebut diberikan pada terdakwa lainnya untuk menjalankan program Panca Pesona. Setelah ada surat tugas, Wijaya bersama Marna dkk., melakukan survey lokasi di Pantai Pesisir Barat Tanjung Benoa.
Wijaya, kata jaksa, kemudian meminta kelima orang tersebut untuk meninggikan lokasinya sehingga dapat ditanami telur penyu. Caranya, sambung jaksa, melakukan pengurugan atau ditimbun dengan pasir dan membuat tanggul. Atas usulan itu, sepakat dicarikan pemborong dan dana Rp 100 juta dikumpulkan dari para terdakwa.
Setelah ada dana dan dapat pemborong, pekerjaan diambil oleh Supangap dan diawasi oleh Marna dkk. Supangap lalu melakukan penebangan beberapa pohon mangrove dan sejumlah ranting mangrove menggunakan kapak, gergaji dan pisau.
Di Minggu ketiga, pekerjaan selesai 10 persen yang meliputi pelebaran akses jalan, pembuatan bedeng, memasukan pasir ke dalam laut, membuat tanggul.
Berdasarkan peta hasil rekontruksi atau parsial di kawasan tahura Ngurah Rai, Kelompok Hutan Perapat Benoa, diperoleh hasil didapati pengurugan kurang lebih 0,22 ha, pembuatan jalan sekitar 35 meter, lebar 2,8 meter seluas kurang lebih 0,01 ha. Seluruh kegiatan itu berada di Tahura Ngurah Rai. Atas perbuatanya, terdakwa Wijaya dijerat dan diancam pasal 12 huruf c jo pasal 82 ayat 1 huruf c UU RI No. 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan (P3H) jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dalam dakwaan kesatu. Dan pasal 33 ayat 3 jo pasal 40 ayat 2 UU RI No. 5 tahun 1990 tentang KSDA-E, jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dakwaan kedua.
Atas dakwaan itu, tim kuasa hukun terdakwa Ketut Rinata, Iswahyudi dkk., tidak mengajukan eksepsi. Namun dia memohon pengalihan penahanan dari tahanan rutan negara ke tahanan kota. Sedangkan Yonda sendiri memohon pada majelis hakim untuk memberikan waktu empat jam, atau minta penanguhan empat jam saat Hari Raya Galungan karena dia sebagai bandesa adat.
“Sesuai awig-awig desa pakraman kami, paruman agung desa adat belum pernah dihadiri tanpa bandesa adat. Paruman agung adat setiap enam bulan kami lakukan,” ucap Wijaya alias Yonda.
Ditambahkan, bahwa dalam paruman itu juga untuk menpertanggungjawabkan soal laporan keuangan. “Kami di Hindu, harus pahami adat dan budaya. Ini kami junjung tinggi. Agar dipahami, bahwa bandesa adat adalah pemimpin paruman agung sesuai awig-awig,” tegasnya.
Disinggung soal dakwaan, Wijaya mengatakan ada beberapa hal dakwaan yang menyudutkan terdakwa. “Tiang (saya) tidak ada melakukan rekaya sebagaimana dalam dakwaan tadi. Saya sudah sampaikan ke pengacara saya, ada beberapa yang tidak sesuai dengan tulisan (dakwaan-red) itu,” tandas Yonda.
Salah satunya, kata Yonda, dia membuat program Panca Pesona bukan untuk menebang mangrove. “Namun saya selalu diobok-obok disebut menebang mangrove. Saya membuat program Panca Pesona karena di sana kumuh. Tanpa ada yang menghiraukan. Silahkan liat disana langsung,” tandas Wijaya.
Sementara lima terdakwa lainnya melalui kuasa hukumnya Agus Gunawan Putra dkk., juga tidak akan mengajukan eksepsi.(miasa/balipost)