SEMARAPURA, BALIPOST.com – Status Gunung Agung, Karangasem masih berada pada level awas. Di tengah situasi itu, Hari Raya Galungan sudah di depan mata. Keinginan warga pengungsi untuk pulang merayakan Galungan sangat besar.
Namun, tragedi 1963 masih sangat menghantui. Sesuai sejarah, gunung terbesar di Bali itu meletus saat Penyajaan Galungan. Pengungsi pun dirundung waswas, padahal mereka juga ingin menghaturkan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Ni Wayan Munti (45) asal Sebudi, Kecamatan Selat, salah satu pengungsi yang ada di GOR Swecapura mengaku persiapan Galungan tak sama dengan 6 bulan lalu. Di sela-sela kesibukannya membuat banten, ia mengutarakan tak ada tradisi mapatung. Banten yang dibuat juga lebih sedikit. Hanya dipersembahkan di pura ibu atau kawitan. “Kalau dulu persiapan sudah jauh-jauh hari. Banyak yang harus dibuat. Kalau sekarang hanya buat canang sedikit. Lebih sederhana,” tuturnya, Sabtu (28/10).
Saat Galungan yang berlangsung 1 November, ia memastikan untuk pulang ke kampung halaman. Hanya saja tak seluruh keluarganya ikut. Itu hanya sebentar. Rasa waswas menggiringnya untuk cepat kembali ke pengungsian. Sebab, takut tragedi 1963 terulang lagi. “Waktu itu, gunung meletus saat penyajaan Galungan. Jadinya nanti kalau pulang, sudah pasti waswas,” katanya.
Pengungsi lain, I Nengah Purni asal Desa Parang Sari, Selat mengaku rindu akan momen seperti enam bulan lalu. Saat melakukan berbagai persiapan, dirasakan adanya jalinan kuat dalam keluarga. Bisa saling membantu, berbaur berbagi cerita.
Demikian juga dengan yang diutarakan Ni Wayan Sulatri (60). Warga Banjar Griana Kangin, Desa Duda Utara, Selat yang mengungsi di Balai Banjar Lebah, Semarapura Kangin. Situasi Gunung Agung tak bersahabat membuatnya merencanakan pada Galungan nanti, hanya melakukan persembahyangan layaknya piodalan. “Karena situasi seperti ini, galungan sekarang tak bisa seperti dulu. Tapi kami tetap melakukan persembahyangan. Itu kewajiban. Pulang pagi-pagi, kembali menginjak siang,” katanya.
Perlengakapan, seperti canang dibuat di pengungsian. Gotong royong bersama keluarga. Urusan bahan, ia membelinya di pasar terdekat.
Sementara itu, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Klungkung, Putu Widiada menghimbau pengungsi untuk untuk tidak pulang sampai Gunung Agung dinyatakan benar-benar kondusif. “Kami mengimbau masyarakat jangan dulu kembali ke rumah, karena sewaktu-waktu bisa saja Gunung Agung terjadi erupsi,” katanya.
Birokrat asal Kecamatan Penebel, Tabanan ini menyatakan imbauan itu sudah disampaikan kepada koordinator pengungsi. “Kami tidak ingin terjadi hal ini (pulang-red),” ulasnya.
Sesuai surat edaran Parisadha hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, khusus di tempat-tempat pengungsian akan dibuatkan tempat pemujaan Tuhan (Bale Surya) dan tempat pemujaan leluhur para pengungsi ini (Kemulan) seperti di rumahnya masing-masing. Berdasarkan data terakhir, untuk jumlah pengungsi di Kabupaten Klungkung mencapai 17.852 yang tersebar di 42 desa/kelurahan. (Sosiawan/balipost)