JAKARTA, BALIPOST.com – Ancaman disintegrasi kini menghantui Indonesia. Pengunaan Bahasa Indonesia yang benar dinilai merupakan salah satu alat untuk menghadapi ancaman ini.

Menggalakkan bahasa sebagai alat pemersatu dianggap menjadi senjata ampuh dari berbagai kelompok yang saat ini kerap memaksakan ego kepentingannya diterima kepada kelompok lain. “Menurut saya puncak kebudayaan Indonesia, identitas budaya kita hari ini terletak pada bahasa kita,” kata pimpinan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) di MPR, Mustafa Kamal dalam diskusi ‘Memaknai Sumpah Pemuda’ di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/10).

Baca juga:  Momen Historis, Joko Widodo Panggil Kapolri hingga Kapolres ke Istana

Menurut Mustafa, penggunaan Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu sudah dideklarasikan para pemuda saat berikrar pada 28 Oktober 1928. Sebagai sebuah identitas, Bahasa Indonesia dinilai minim dari gesekan kepentingan suku, agama, ras (SARA). Kelompok apapun latarbelakang agama, sukunya dan kepentingannya bisa menerima Bahasa Indonesia sebagai identitas mereka.

Sayangnya, generasi kekinian justru mencampuradukkan Bahasa Indonesia yang sudah dirumuskan secara benar dengan memasukkan kata-kata ciptaan sendiri atau bahasa negara lain. “Ini juga menjadi warning sebetulnya, kalau kita ingin memperkuat identitas kebudayaan nasional kita, harus bisa menyerap bahasa baik dari daerah maupun kosakata dari luar untuk memperkaya kebudayaan kita ke depan secara lebih hati-hati,” ingatnya.

Baca juga:  Indonesia Bawa Masalah Rohingya ke Forum Parlemen Dunia di Bali

Budayawan, Radhar Panca Dahana mengatakan meski bahasa Indonesia mengadopsi bahasa melayu, namun sastrawan-sastrawan ketika itu seperti HB Yasin, Sultan Syahrir, Sutan Takdir Alisyahbana, dan lainnya menggunakan Melayu Tinggi dalam merumuskan Bahasa Indonesia. “Mereka memperjuangkan bahasa Melayu Tinggi itu dengan cara menekan bahasa-bahasa daerah. Saya tahu karena saya ada datanya. Jadi satu bahasa yang sudah disterilisasi, bahasa yang sudah dikemas dengan sedemikian rupa hanya untuk mengedepankan kepentingan filosofis dan ideologis dari pemerintah kolonial,” sebut Radhar. (Hardianto/balipost)

Baca juga:  Kurban Jadi Tali Pengikat Persaudaraan
BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *