SEMARAPURA, BALIPOST.com – Seiring penurunan status Gunung Agung dari awas ke siaga, ratusan warga Karangasem yang mengungsi di GOR Swecapura pulang. Selain karena sudah diperbolehkan pulang, bagi pengungsi yang berada di luar zona 6 kilometer, juga karena ingin merayakan Galungan.
Menapaki tanah kelahiran, sudah barang tentu menjadi hal menyenangkan. Namun, disisi lain, mereka harus kembali menata kehidupan dari nol.
Dari wajahnya, ada yang nampak binar, seolah menunjukkan rasa senang. Beberapa juga ada yang menangis, mengungkapkan kebahagiaan. Bahagia bisa menyambut Hari Raya Galungan di rumah bersama keluarga.
Namun, di balik itu, masih ada beban yang hinggap dipikiran mereka. Pulang bukan semata-mata beban langsung sirna.
Mereka harus kembali menata kehidupan. Mulai dari nol. Tak ada bekal, tak ada yang bisa diandalkan untuk membeli sesuatu. “Sekarang menata hidup lagi. Mulai lembaran baru. Bekal sudah habis,” ucap pengungsi asal Muncan, Kecamatan Selat Ketut Suada (50).
Pria paruh baya ini kembali menceritakan hidupnya. Sebelum mengungsi, sapi yang dipelihara bertahun-tahun telah dijual dengan harga murah. Uangnya dipakai untuk hidup dipengungsian. Kini, keinginannya untuk kembali membeli jauh dari harapan. Masih terbatas pada angan-angan. “Tidak lagi bisa membeli. Kemungkinan untuk awal, mau ngadas dulu,” katanya.
Saat tiba di rumah, ia merencanakan untuk kembali bertani. Menanam kacang tanah yang telah bertahun-tahun menjadi sumber penghasilan. Hanya ini harapan satu-satunya kini. “Ya kembali lagi bertani. Seperti dulu,” imbuhnya.
Pengungsi asal Dusun Prang Sari, Desa Duda Utara, Ni Nyoman Wenten (40) juga merasakan hal demikian. Pulang dengan tangan hampa mengharuskannya untuk bekerja keras. Mengais pundi rupiah untuk mengisi perut. “Nanti rencananya jual hasil kebun. Uangnya juga untuk beli perlengkapan Galungan,” tuturnya. (Sosiawan/balipost)