JAKARTA, BALIPOST.com- Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memerlukan izin presiden untuk memanggil dan meminta keterangan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Penegasan disampaikan terkait keengganan Setya Novanto memenuhi panggilan KPK karena alasan belum adanya izin dari presiden. “Tidak tepat kalau Ketua DPR berlindung di pasal 245 UU MD3, karena baik sebelum atau setelah JR (judicial review) ketentuan izin tidak berlaku untuk tindak pidana khusus,” kata Refly Harun di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/11).
Korupsi, menurut Refly merupakan kejahatan yang masuk dalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga dalam kategori tindak pidana khusus. Sehingga pemeriksaannya tidak memerlukan izin presiden.
“Tidak ada alasan ketua DPR untuk mangkir dari pemeriksaan KPK. Apalagi KPK dalam menjalankan tugasnya berbekal UU khusus yang selama ini dipakai. Sebelum ada UU MD3, UU KPK yang eksis sekarang ini mengatur kewenangan KPK termasuk panggil pejabat publik tanpa harus melalui birokrsi perizinan termasuk presiden,” tegas mantan stah ahli Makhamah Konstitusi (MK) ini.
Untuk kedua kalinya, Novanto mangkir memenuhi panggilkan KPK. Rencananya Novanto akan diperiksa sebagai saksi kasus korupsi e-KTP untuk tersangka Anang Sugiana Sudihardjo (ASS), Direktur Utama PT. Quadra Solution.
Refly menilai, langkah tim hukum Novanto yang membawa-bawa nama presiden dianggap sebagai langkah kontraproduktif. “Sangat blunder, stafnya tidak membaca secara cermat. Tapi terlepas dari perdebatan soal ini Ketua DPR harus berikan contoh baik,” ujarnya.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, berdasarkan surat yang diterima dan ditandatangani pelaksana tugas Sekretaris Jenderal DPR RI, pemanggilan terhadap Setya Novanto harus mendapatkan izin tertulis dari Presiden Jokowi.
“Berdasarkan surat itu, menyampaikan lima poin yang pada pokoknya menyatakan Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan KPK sebagai saksi, karena menurut surat tersebut panggilan terhadap Setya Novanto harus dengan izin tertulis dari Presiden RI,” kata Febri kepada wartawanb di KPK.
Surat tim kuasa hukum Novanto itu diterima bagian persuratan KPK pagi tadi dari Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR.
Dalam surat tersebut, tim kuasa hukum Novanto menyertakan ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang mengatur, Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Namun, pada Pasal 245 Ayat (3) huruf c disebutkan bahwa ketentuan pada Ayat (1) tidak berlaku terhadap anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana khusus.
Ketentuan pasal itu dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji materi yang menyebutkan bahwa pemberian izin untuk meminta keterangan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana bukan lagi dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), melainkan dari presiden.
Namun, putusan MK itu menuai kontroversi. KPK sendiri tetap berpegang pada UU KPK dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa UU tersebut merupakan UU khusus sehingga pemanggilan kepada anggota DPR tidak memerlukan izin presiden.(hardianto/balipost)