Nyoman Dhamantra. (BP/dok)
Bijak mengelola investasi di tanah Bali merupakan harapan sebagian besar warga Bali. Ambisi untuk mengelola investasi terlebih mengekspolitasi hanya untuk kepentingan kelompok atau segelintir orang, hanya akan mempercepat kehancuran Bali. Itu sama dengan investasi racun. Pembangunan di Bali haruslah berorientasi untuk kepentingan orang banyak bukan hanya kelompok tertentu. Terkait dengan kebijakan investasi dan solusi pembangunan di Bali ke depan, wartawan (w) Bali Post melakukan wawancara khusus dengan Nyoman Dhamantra (ND). Bagaimana pandangan Nyoman Dhamranatra terkait dengan investasi yang berpotensi merusak alam Bali? Berikut petikan wawancara khusus dengan anggota DPR RI dari PDI Perjuangan dapil Bali ini :

W : Dengan angka gini ratio Bali yang lebih baik dari rata-rata nasional, Kenapa saat ini rakyat Bali malah cenderung menghambat investasi, bukankah pesatnya pertumbuhan ekonomi Bali seperti sekarang itu lebih karena laju investasi?

ND: Investasi itu dapat menjadi madu ataupun racun bagi pembangunan. Jika realitanya investasi hanya merusak keseimbangan alam dan memperlebar ketimpangan antar wilayah ataupun kesenjangan antar penduduk, bukankah itu racun bagi pembangunan? Kebijakan investasi seperti itu untuk apa dipertahankan?
Pembangunan dilakukan harus untuk kepentingan hajat hidup rakyat banyak, bukan untuk kepentingan segelintir kelompok. Angka gini ratio yang ada itu tidak cukup akurat, jangan-jangan itu pesanan karena fakta yang ada pesatnya laju investasi di Bali, justru dibarengi dengan tumbuh suburnya peminggiran terdahap krama adat (penduduk lokal, red) seperti halnya transmigrasi itu.
Kalau di Jakarta tanpa keberadaan orang Betawi, pembangunan masih dapat berlangsung dengan baik, berbeda dengan Bali, dimana budaya menjadi tumpuan pembangunan ekonomi dan hanya krama adat yang sanggup melakukan pelestariannya.

W : Dengan bantuan pemerintah berupa bansos dan penyaluran corporate social responsibility (CSR) lewat bantuan para pengusaha, bukannya saat ini membuat pembangunan pura menjadi tambah banyak dan megah. Apakah ini tidak cukup?

ND : Pendahulu kami di Bali dari sejak jaman dahulu kala memang sudah membangun pura yang megah dengan ritual yang diyakini sebagai upaya efektif untuk berinteraksi dengan alam, dan kebetulan keunikannya dikagumi dunia. Bahkan dahulu itu pendahulu kami tidak membutuhkan uluran tangan dari pemerintah guna membangun pura ataupun kegiatan ritual. Artinya, di desanya masing-masing krama adat telah memiliki kemandirian ekonomi.
Dengan kemandirian ekonomi itu, justru membuat kegiatan gotong royong masih dapat berlangsung. Tapi sekarang, mana ada itu semangat gotong royong? Sebagian besar mereka sudah menjadi urban meninggalkan desanya untuk mencari lapangan pekerjaan di kota. Sehingga untuk kebutuhan perut meraka saja sudah berat, apa lagi mau diajak menyama braya guna memikirkan beban krama adat di desa asalnya. Bantuan pemerintah dan CSR para pengusaha itu tidak ada artinya, dibandingkan dengan lebih dari Rp 5 triliun swadaya yang dilakukan oleh krama adat untuk pelestarian budaya di seluruh Bali.

W : Bukannya daya saing dan produktifitasnya rendah itu karena meraka malas dan gemar menghamburkan uang dari hasil penjualan tanahnya? Terutama untuk biaya ritual yang berlebihan dan terkesan boros?

ND : Ya… memang itu kesan yang ingin dibangun oleh para pemimpin yang telah kehabisan argumentasi untuk menjawab kegagalannya mensejahterakan rakyat. Kata boros itu telah menjadi magic word atau mantram sakti bagi upaya simplifikasi yang pada akhirnya dapat mengubah keyakinan orang Bali tentang ritualitas.
Jika upaya simplifikasi atau penyederhanaan ritual ini tidak hati-hati dilakukan, dapat berujung pada upaya krama adat melakukan konversi atau berubah keyakinan, mereka tetap beragama Hindu, tapi meninggalkan adat istiadat dan tradisi Balinya. Oleh karana pada titik tertentu, ketika tingkat kemiskinan berada pada batas yang tidak terkendali lagi, maka semangat penyederhanaan itu akan menjelma menjadi kekuatan yang akan membrangus dan meniadakan semua kegiatan ritual yang ada, atas dasar efisiensi.
Dengan menggunakan doktrin yang paling jitu, bahwa manusia tidak membutuhkan ritual, semua ditentukan oleh krama dan kekuatan mantram. Untuk diketahui, memang cara yang paling ampuh menggerus daya saing pariwisata Bali dengan keunikan adat istiadat serta tradisinya, adalah memiskinkan pelaku pelestarinya.
Bahwa biaya ritual harus dikendalikan agar sesuai dengan keikhlasan dan kemampuan. Itu dapat dipahami, tapi itu jangan dijadikan dalih guna memporakporandakan tatanan tradisi yang ada dan seolah-olah semua kesalahan ditimpakan hanya kepada “boros”nya krama adat.
Dalih itu dihadirkan karena pemerintah ingin melepaskan andil kesalahannya dalam proses pemiskinan yang terjadi. Sesungguhnya khan semua ini hanya akibat salah urus. Akibat dari pembangunan SDM dengan proses pendidikan yang pemerataan dan kualitasnya harus lebih serius ditingkatkan. Ini dibuktikan dengan banyaknya sarjana yang menganggur.
Belum lagi diikuti dengan lemahnya keberpihakan dari pemerintah, terutama pemerintah daerah. Ujung-ujungnya berdampak tehadap rendah serta lemahnya daya saing ekonomi krama adat. Meningkatkan investasi, tidak akan signifikan menekan laju pengangguran lokal, bila kesenjangan daya saing menjadi kendala bagi lokal konten. Semua itu pada akhirnya menjadikan mereka kehilangan harapan untuk berkompetisi meraih produktifitasnya. Kalau harapan saja sudah tidak, ada bagaimana mereka tidak frustasi dan apatis menghadapi pembangunan?

W : Tapi bagamana dengan maraknya sabungan ayam, narkoba dan premanisme. Tidakkah justru itu yang membuat rendahnya produktifitas?

ND : Kita semua tahu, tidak ada manusia lahir untuk bercita-cita menjadi penjudi, pelacur, pemabuk ataupun preman. Pastinya kita semua ingin lahir ke dunia untuk menjadi orang sukses. Disinilah dibutuhkan peran negara dengan kehadiran seorang pemimpin di daerah agar dapat menjadi teladan dan dengan keteladanannya diharapkan mampu membawa rakyatnya meraih daya saing dengan produktifitas yang memadai. Para pemimpin jangan hanya bisa menakut-nakuti dan menyalahkan rakyat yang tersesat di dalam kerasnya kompetisi, tanpa mampu menunjukan arah yang benar, dengan memberikan keberpihakan dan daya saing yang mumpuni kepada rakyatnya.

W : Jadi Bli mendukung mereka yang menolak investor, solusinya apa?

ND : Saya bukan anti terhadap investasi, tapi saya menolak kebijakan investasi yang berdampak sebagai racun bagi alam dan rakyat Bali. Konspirasi dan kriminalisasi model apapun yang dilakukan untuk melanggengkan kebijakan seperti itu, saya akan tetap melawan. Jika saya ditanya solusinya, ya… di samping dana bagi hasil dari totalitas fiskal pemerintah di Bali untuk pelestarian budaya, Pemda harus mampu segera mengubah kebijakan investasi yang menyesatkan itu guna dapat mengembalikan kemandirian ekonomi rakyat di desanya. Dengan membuat kebijakan yang ramah terhadap alam dan kemakmuran rakyat, khususnya keberpihakan tehadap eksistensi krama adat sebagai pelaku tunggal pelestari di Bali. Ingat!!! tanpa keunikan alam dan budayanya, kita semua, termasuk semua investasi yang ada di Bali akan tenggelam. (Dira Arsana/balipost)

Baca juga:  Pembayaran Insentif Nakes di Denpasar Mencapai 72,20 Persen
BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *