JAKARTA, BALIPOST.com – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan potensi konflik di Pilkada Serentak 2018 sangat tinggi. Ada tiga faktor yang membuat potensi konflik Pilkada Serentak 2018 lebih tinggi dibanding pilkada tahun-tahun sebelumnya.
“Potensi konflik, menurut kami, sepertinya potensinya sangat tinggi untuk menjadi konflik karena pertarungan 2018 itu pertarungan yang paling melibatkan banyak hal,” kata Arief Budiman pada diskusi ‘Potensi Konflik Pilkada Serentak Tahun 2018’ di kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa (7/11).
Arief menyebut faktor pertama adalah jumlah pemilih dalam Pilkada Serantak 2018 yang mencapai 158 juta warga. Dari data kuantitatif, menututnya, jumlah pemilih pada Pemilu 2019 tercatat tinggi. Mencapai 197 juta orang secara nasional.
“Menurut data-data kuantitatif itu rekor tertinggi, kenapa satu dari jumlah pemilih yang diperebutkan. Total pemilih nasional kita 192 juta pemilih data pemilu tahun 2014. Pemilu tahun 2019 diperkirakan mencapai 197 juta pemilih” kata Arief.
Faktor kedua karena banyak penyelenggara pilkada yang telah atau akan habis masa jabatannya. Ada penyelenggara pilkada di daerah yang habis masa tugasnya pada hari H pelaksanaan pemungutan suara, ada yang menjelang hari H pemungutan suara hingga ada yang habis masa jabatannya beberapa hari setelah hari H pemungutan suara.
“Ada yang masa jabatannya bisa diperpanjang dan ada yang tidak diperpanjang. Kondisi seperti ini bisa menimbulkan potensi bagi peserta Pilkada untuk melakukan kecurangan, misalnya campur tangan dalam proses pemilihan penyelenggara Pilkada yang baru,” jelasnya.
Faktor ketiga, adalah mengenai anggaran yang dikeluarkan untuk Pilkada Serentak 2018 yang jumlahnya dinilai cukup besar, Anggaran yang diajukan itu senilai Rp 11,9 triliun, belum termasuk anggaran lembaga lain yang terlibat.
“Pada 2018 total anggaran yang diajukan Rp 11,9 triliun, tentu itu akan terkoreksi juga nanti sebagian akan dikembalikan, dan itu hanya anggaran untuk KPU, tidak termasuk anggaran Bawaslu, TNI, Polri, DKPP, pemerintah daerah, dan kandidat,” ujar Arief.
Jumlah anggaran Pilkada Serentak 2018 dinilai cukup mencolok perbedaannya dibandingkan dengan Pilkada Serentak 2015 sebesar Rp 6,4 triliun maupun Pilkada Serentak 2017 tahun lalu sebesar Rp 4,3 triliun. “Perputaran anggaran yang besar ini juga bisa mendorong konflik kepentingan,” jelasnya.
Selain ketiga faktor itu, Arief menyebut kompetisi Pilkada Serentak 2018 sangat ketat, karena rentang waktu Pilkada Serentak 2018 dengan Pemilu 2019 hanya menyisakan waktu selama sekitar 10 bulan. Dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama ini berpotensi menimbulkan konflik-konflik kepentingan menjelang Pemilu 2019.
“Karena kompetisinya sangat ketat, uang yang terlibat banyak, jumlah pemilih yang diperebutkan banyak, maka kompetisi ini akan berlangsung sangat ketat, makanya KPU sangat berhati-hati betul,” tegasnya.(hardianto/balipost)