DENPASAR, BALIPOST.com – Perkara dugaan korupsi pemalsuan dokumen kapal Dream Tahiti senilai Rp 1 Miliar lebih, dengan terdakwa Joni Edy Susanto, Rabu (8/11) memasuki tahap pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Denpasar.
Di depan majelis hakim pimpinan I Wayan Sukanila, terdakwa yang sebelumnya berdinas di Kantor Syahbandar Otoritas Pelabuhan (KSOP) Benoa tak bisa berkelit ketika JPU Wayan Suardi maupun majelis hakim mempertanyakan peran terdakwa dalam pengurusan dokumen kapal tersebut.
Terdakwa Susanto di muka persidangan tidak membantah jika dia telah membantu pengurusan dokumen. Dia juga tak menampik adanya penerimaan gratifikasi. Penerimaan gratifikasi bermula dari pembelian satu unit kapal yacht bernama Dream Tahiti berbendera Perancis yang dibeli oleh Ni Made Sumbersari bersama Eric Michel Malo Menager melalui pemilik perusahaan Archipels Croisieres di Perancis, Loic Bonnet seharga USD 80 ribu.
Kapal itu kemudian tiba di Serangan dan telah dilakukan pemeriksaan oleh petugas pemeriksa barang dari Bea dan Cukai Wilayah Pabean A Denpasar. Saat diperiksa, kapten kapal warga negara Perancis, Deligne Pierre menyatakan bahwa kapal tersebut datang dari Tahiti, dan menunjukan dokumen asli kapal kepada petugas.
Saksi Sumbersari dan Eric Michelsempat kemudian mendatangi agent Isle Marine untuk mengurus perubahan bendera kapal, dari Perancis menjadi Indonesia. Kedua saksi meminta tolong kepada Direktur Agent Isle marine, Rutyasi Pilemon dan kapten kapal freelance, Adi Wicaksono.
Adi Wicaksono kemudian berkomunikasi dengan terdakwa Susanto dan sanggup membantu pengurusan pergantian bendera serta balik nama kapal. Dibantu pula oleh mendiang terdakwa Heru Supriyadi. “Saya dan mendiang Heru bersama-sama membuat dokumen yang seolah-olah kapal tersebut dibuat dan dibangun di Indonesia, meskipun sesuai fakta fisik pembuatan kapal dan dokumen pembuatan yang sah adalah berbendera Perancis atas nama Dream Tahiti,” tandas Susanto.
Begitu dokumen kapal berubah berganti menjadi bendera Indonesia, dan balik nama menjadi Kapal Dream Bali langsung dioperasikan. Dalam pengurusan dokumen itu, saksi Sumbersari dan Eric Michel telah menyerahkan uang kepada Rutyasi sebesar Rp 300 juta.
Kemudian Rutyasi mentransfer uang itu ke Adi Wicaksono sebesar Rp 160 juta. Adi Wicaksono mentransfer Rp 160 juta secara bertahap ke rekening terdakwa Susanto Rp 47 juta, dan diserahkan secara tunai Rp 3 juta. Namun terkait transferan uang yang diterima terdakwa, Susanto hanya mengaku menerima Rp 27 juta dan sisanya sebesar Rp 70 juta dikembalikan lagi ke mendiang Heru. “Saya akui terima transferan itu untuk biaya bolak-balik ke Banyuwangi. Tapi tidak sebesar itu, sisanya lagi saya serahkan ke Heru dan Rp 300 juta ke Adi Wicaksono dan biro jasa,” beber terdakwa.
Atas peristiwa yang dia lakukan, dalam persidangan, terdakwa mengaku menyesali perbuatannya. Apalagi akibat perbuatannya , Susanto kehilangan pekerjaan dan anak istrinya tak mendapat nafkah karena sudah tidak terima gaji sejak ditetapkan tersangka.(miasa/balipost)