Gunung Agung difoto dari Kecamatan Kubu. (BP/gik)
AMLAPURA, BALIPOST.com – Gunung Agung sudah mulai tenang. Berbagai kalangan menilai ancaman erupsi Gunung Agung selama hampir dua bulan ini sebagai peringatan, bahwa ada perlakuan yang salah terhadap gunung tertinggi di Bali ini, khususnya untuk kepentingan pariwisata.

Dorongan menutup Gunung Agung untuk kepentingan pariwisata pun belakangan semakin deras. Salah satu tokoh masyarakat Karangasem, Jro Wayan Mas Suyasa, Rabu (8/11), mengatakan Gunung Agung di Bali tak sama dengan gunung api lainnya di Indonesia. Namanya Gunung Agung, gunung berketinggian 3.142 mdpl ini sepantasnya diagungkan. “Gunung Agung itu berjiwa, jangan dikira Gunung Agung itu hanya sebuah batu,” kata Jro Wayan Mas Suyasa.

Sebagai gunung api yang pingit (pihit), Gunung Agung menurutnya harus dikeramatkan. Jangan biarkan sembarang orang naik hingga ke puncak Gunung Agung, apa lagi dengan tujuan atau niat tidak bagus. Pemerintah daerah menurutnya harus bisa bijak melihat Gunung Agung. Kesakralannya harus dijaga, tidak hanya berorientasi uang saja, untuk menumpuk PAD. “Kalau untuk kepentingan ritual, saya rasa tak masalah. Tapi kalau untuk kepentingan pariwisata, sebaiknya dihentikan,” tegasnya.

Baca juga:  Di Jembrana, Ada Tujuh Zona Merah Rabies

Mas Suyasa mengaku sejak dulu tak sependapat kalau Gunung Agung jadi objek wisata, khususnya untuk aktivitas pendakian. Dia meminta masyarakat Bali mawas diri dan mengamalkan konsep Tri Hita Karana, khususnya hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

Dia mengakui, kalau secara ilmu geologi suatu gunung api tentu akan meletus. Tetapi, bila dipikirkan lebih jauh, masyarakat mana yang mengharapkan terjadinya bencana. Tentu, tidak ada yang mengharapkannya.

Oleh karena itu, dia meminta masyarakat Bali tetap berdoa agar masyarakat di sekitar Gunung Agung tetap dijauhkan dari bencana. Ancaman erupsi Gunung Agung ini, menurutnya adalah cara Tuhan menunjukkan kebesarannya, kemahakuasaannya maupun keagungannya. Keagungan Tuhan tidak bisa diprediksi, ditebak apalagi hanya dengan teknologi buatan manusia ciptaannya. “Banyak (pendaki) yang bangga dengan menaklukkan Gunung Agung. Dikira apa itu ditaklukkan? Bahasanya kurang tepat. Gunung ini ada bukan untuk ditaklukan, tetap dijaga kesakralan dan kelestariannya,” katanya.

Baca juga:  Jika Ingin Bertahan, Petani Kopi Harus Ikuti Kemajuan Teknologi

Tidak hanya Gunung Agung, dia juga mendorong setiap tempat suci di Bali ditutup untuk pariwisata, seperti Pura Besakih dan pura besar sejenis lainnya. Dia mengaku sudah menerapkannya di desa yang dipimpinnya. Sebagai Klian Desa Adat Bugbug, ia tidak mengizinkan Pura Gumang dijadikan obyek wisata, padahal sudah sejak lama dilirik sebagai destinasi wisata.

Bahkan, nyaris masuk dalam daftar objek wisata di Dinas Pariwisata Karangasem. Tetapi, sebelum itu terjadi, dia bersama warganya sudah menolak mentah-mentah.

Penolakan itu disampaikan saat dinas terkait melakukan sosialisasi tata cara pembentukan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) di Bugbug, belum lama ini. “Saya dari awal tidak setuju dengan konsep pariwisata spiritual di Karangasem. Pariwisata itu tujuannya jalan-jalan. Kalau spritual, tentu kaitannya dengan sembahyang. Ini hasil merenung saya di Pura Gumang. Pariwisata Bali ini sudah makin kebablasan. Dengan kita tidak memelihara serius tempat suci kita sendiri, ini jadi masalah serius. Buktinya sudah banyak. Tapi, jarang yang sadar,” kata Mas Suyasa.

Baca juga:  Jadi Klaster Penyebaran COVID-19, Desa Adat Diminta Tindak Tegas Tajen

Wakil Bupati Karangasem I Wayan Artha Dipa, sempat menanggapi persoalan di atas, belum lama ini. Pemerintah daerah tentu tidak bisa memutuskan secepat ini. Perlu proses yang ditempuh dengan dinas terkait.

Kalau menyinggung wacana ini, maka perdebatannya akan kembali pada tata ruang Bali, yang masih mengatur Kawasan Pura Besakih sebagai daya tarik pariwisata Bali. Demikian juga untuk Gunung Agung. Selain itu, kalau menyikapi wacana ini lebih serius, maka perda yang mengatur Kawasan Pura Besakih sebagai daya tarik wisata juga harus di-review lagi. Jalan tengahnya, kata Wabup Artha Dipa, mungkin ke depan perlu dipertegas lagi, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di Kawasan Pura Agung Besakih maupun terhadap Gunung Agung. (Bagiarta/balipost)

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. Om Swastyastu,memang ada benarnya,yg mendaki bisa saja kencing atau berak di areal gunung,atau berbuat asusila atau bisa saja hal buruk lainnya,khusus untuk gunung Agung dan Gunung Batur,peruntukannya untuk Pariwisata dihentikan untuk menjaga kesuciannya…
    Khusus untuk Pura di Bali yg dijadikan objel wisata bisa meniru Pura Taman Ayun Mengwi,pengunjung hanya boleh melihat dari Luar mandala Utama yg notabena adalah tempat yg paling disucikan,Sering saya Lihat di Pura Besakih banyak Turis yg masuk areal Utama Mandala padahal jelas2 ada larangan masuk kedalam dan hanya boleh melihat dari Luar,di Tirta Empul juga sama,walaupun ada sedikit sekat pembatas,pengunjung bebas berkeliaran di areal Utama mandala,ini perlu disikapi dengan bijaksana,karna juga menyangkut hajat hidup orang Banyak

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *