JAKARTA, BALIPOST.com – Resistensi antimikroba (AMR) akibat penggunaan antibiotik yang tidak sesuai prosedur telah menjadi ancaman yang berdampak pada ketahanan pangan. Khususnya bagi sektor peternakan dan kesehatan hewan. Demikian disampaikan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita.

Menurutnya bahaya resistensi antimikroba erat kaitannya dengan perilaku pencegahan dan pengobatan juga sistem keamanan produksi pangan dan lingkungan. “AMR dapat menyebar ke lingkungan sekitar, rantai makanan dan manusia. Maka terjadilah infeksi yang sulit disembuhkan dan biaya pengobatannya juga lebih besar sehingga terjadi kematian. Karena antimikroba yang digunakan untuk mengobati penyakit pada hewan sama dengan yang digunakan pada pengobatan manusia,” katanya.

Dijelaskan, pekan kesadaran antimikroba tersebut akan diselenggarakan pada 13-19 November 2017. Kegiatan tersebut merupakan kampanye global untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai AMR. “Antimikroba merupakan salah satu temuan yang sangat penting bagi dunia. Karena antimikroba banyak manfaatnya bagi kehidupan, terutama untuk melindungi kesehatan manusia dan kesejahteraan hewan. Di antaranya bisa digunakan untuk menghilangkan infeksi kuman. Jika dalam penggunaannya, antimikroba dilakukan secara tldak bijak dan tidak rasional. maka menjadi pemicu terhadap kemunculan bakteri yang tahan atau kebal terhadap efektivitas pengobatan antlmikroba,” ungkapnya.

Baca juga:  Harga Daging Ayam Naik

Sementara itu, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Syamsul Maarif menambahkan, selama 30 tahun terakhir, sejumlah bakteri menunjukan resistensi penuh terhadap antimikroba. Sedangkan, dalam 25 tahun terakhir, belum ada antibiotik baru yang ditemukan. Keadaan ini mencatat adanya peningkatan laju resistensi, tapi pengembangan antibiotik baru berjalan sangat lambat.

“Jika masyarakat tidak melakukan sesuatu dalam keadaan seperti ini, diprediksi AMR akan menjadl pembunuh nomor 1 didunia pada tahun 2050. Dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun dan kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia. Selain itu, kerugian ekonomi akibat AMR saat ini sudah mencapai 1,5 miliar Euro per tahun yang digunakan untuk biaya perawatan ekstra,” tegasnya.

Baca juga:  Tiga Orang dalam Sekeluarga Meninggal, Satu Kampung Isolasi Mandiri

Diakui Syamsul, bahaya AMR erat kaitannya dengan perilaku pencegahan dan pengobatan serta sistem keamanan produksi pangan dan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan One Health yang mellbatkan lintar sektor di bidang kesehatan, pertanian (termasuk peternakan dan kesehatan hewan) serta lingkungan. Untuk itu, pihaknya sudah bekerjasama dengan instansi terkait dalam penyusunan Rencana Aksl Nasional penanggulangan AMR.

Oleh karena itu, Kementan melakukan pendekatan “One Health” yang melibatkan sektor kesehatan, pertanian dan lingkungan melalui kerja sama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Pertahanan dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional penanggulangan AMR.

Pemerintah juga telah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan atau growth promoter mulai 1 Januari 2018, yang mengacu pada amanat UU No. 41 Tahun 2014 Jo. UU no 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan.

Kementan telah memulai surveilans AMR di Jawa Barat, Banten dan Jabodetabek, termasuk melakukan pilot survey penggunaan antimikroba di Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada 360 peternak ayam pedaging.

Baca juga:  Hasto Luruskan Sejarah Bung Karno

Guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya AMR, Ditjen PKH bekerjasama dengan berbagai organisasi, seperti FAO ECTAD, ReAct, Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), Center for Indonesian Veterinary Analytical Study (ClVAS) dan dan Fakultas Kedokteran Hewan di beberapa universitas untuk menggelar sejumlah kegiatan dalam perayaan Pekan Kesadaran Antibiotik.

“Pendekatan One Health merupakan bagian dari upaya kami untuk mengatasi kompleksitas dalam mengendalikan masalah AMR. Selain itu, kami juga sudah malarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan atau growth promoter mulai 1 Januari 2018. Hal itu sesuai dengan amanat UU No. 41 tahun 2014 Jo. UU no 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan,” paparnya.

Pekan Kesadaran Antibiotik pada tahun ini diselenggarakan pada 13-19 November 2017 dengan rangkaian kegiatan kuliah umum terkait AMR di sejumlah universitas yang memiliki fakultas maupun program studi Kedokteraan Hewan untuk mempromosikan pencegahan dan pengendalian infeksi. (kmb/balitv)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *