SEMARAPURA, BALIPOST.com – Era tahun 1990-an, lukisan wayang Kamasan turut menjadi pemanis dunia pariwisata, khususnya di Kabupaten Klungkung. Karya seni tradisional ini menjadi incaran wisatawan untuk dijadikan koleksi.
Disandingkan dengan lukisan lain. Namun, menginjak tahun 2000, kondisinya berubah. Bak sebuah mas yang luntur. Tak lagi mencari incaran. Hanya lebih sering dijadikan tontonan.
Hari menginjak siang, di tengah Balai Kambang Kertha Gosa, Klungkung, Mangku Muryati memulai aktvitasnya. Memakai kaca mata bertali dengan gaya santai, ia duduk pada tikar klasa. Membuka gulungan kanvas pada meja yang tak terlalu lebar. Tak lama, tangannya pun mulai menggoreskan warna pada lukisan Wayang Kamasan setengah jadi. Nampak lemah gemulai. Serasa tak ada yang meleset. Semua menyatu dengan sket yang telah terpola apik. Dari raut wajahnya, pun nampak sangat menikmati. Seolah menunjukkan sudah terbiasa melakukan itu. Sudah mendarah daging.
Aktivitasnya itu mampu menyedot perhatian wisatawan yang berkunjung. Menonton kepiawaiannya dari berbagai sudut. Menyaksiksan detail demi detail. Sesekali juga ada yang bertanya apa maksud dari karyanya itu.
Menonton tak berarti langsung membeli. Tak sedikit wisatawan yang langsung pergi. Seolah rasa ingin tahunya sudah terobati. Realita itulah yang kini dirasakan seniman kelahiran 1966 silam ini. Perlahan ia menceritakan. Minat wisatawan untuk membeli karya seni yang menawarkan cerita pewayangan ini sangat menurun.
Pada 1990-an, tidak segan-segan membeli lukisan dengan harga puluhan juta rupiah sekali pun. Pesanan pun datang cukup lancar. Itu dijadikan pajangan, pemanis dinding yang lengang. Namun, hal itu tak terus berjalan manis. Memasuki tahun 2000-an, terlebih munculnya tragedi bom Bali, situasi berbanding terbalik.
Kehadiran wisatawan yang dulu ibarat laron mencari sinar, perlahan sepi. Jika pun ada yang datang, membeli lukisan Rp 500 ribu pun harus berpikir panjang. Bahkan, menawar dengan berbelit-belit. “Mereka hanya bertanya. Sering juga datang langsung ke rumah. Tapi tidak sampai membeli,” tuturnya, belum lama ini.
Pemandangan demikian juga dirasakan saat pameran. Lukisan yang dipajang hanya dilihat. Sekalinya ada yang tertarik membeli, ditawar dengan harga murah. Sangat jauh dari harga yang dipatok. Seolah karyanya tak begitu berarti. Nalurinya yang kuat menjadi seorang seniman tak membuat karyanya direlakan begitu saja. Hasil goresan tangannya selama berhari-hari tetap dipertahankan. Bahkan, tak sedikit yang masuk menjadi koleksi. “Jangan sampai nilai lukisan Kamasan jatuh,” ucapnya.
Dari tahun ke tahun, pemasaran lukisan kebanggaan bumi serombotan ini tak juga berhasil bangkit. Seolah kahilangan taring. Seperti tahun ini, saat pameran di Kertha Gosa, satu pun tak ada yang laku. Lagi-lagi wisatawan hanya sebatas ingin tahu sekilas tentang cerita yang tersirat. Tahun lalu, ia merasa lebih beruntung. Empat lukisan masih bisa terjual.
Perempuan paruh baya ini menyatakan eksistensi lukisan bernuansa klasik ini di mata wisatawan juga tak lepas dari peran para pemandu. Langkahnya untuk turut mengajak melihat proses pembuatan sangat diharapkan. Itu akan mampu memantik kenginaan untuk membeli. “Kadang wisatawannya mau lihat proses pembuatan lukisan Kamasan, pemandunya ngajak pergi,” tandasnya. (sosiawan/balipost)