JAKARTA, BALIPOST.com – Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) mendorong pendidikan publik dan membudayakan riset di masyarakat guna membentuk bangsa yang peduli dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti, Prof Ali Gufron Mukti mengatakan, Indonesia merupakan bangsa yang besar dengan sumber daya manusia (SDM) yang dikelilingi oleh potensi sumber daya alam (SDA) yang melimpah.
“Kita harus menjadi bangsa yang berlandaskan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan begitu, kita tidak akan mudah tertipu oleh hal-hal yang tidak masuk akal,” kata Ali Ghufron di Jakarta, Selasa (14/11).
Ali Gufron menambahkan, banyak masyarakat yang masih memberikan berbagai pandangan miring tentang nuklir sebagai suatu bentuk ketakutan atas sesuatu yang tidak diketahui. “Padahal, nuklir memiliki potensi yang sangat besar untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis energi,” ujarnya.
Kepala Bidang Pengembangan Teknologi Daur Bahan Nuklir dan Rekayasa Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Prof Dr Djarot S Wisnubroto, menyampaikan, energi nuklir menjadi satu-satunya sumber listrik yang tidak memancarkan gas rumah-kaca sehingga secara efektif bisa mengganti bahan-bakar fosil. “Selain itu, energi nuklir juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia atas peran pentingnya dalam memasok listrik dunia. Bahkan saat ini, tercatat ada 439 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang beroperasi di 32 negara,” jelasnya.
Lebih lanjut, kata Djarot, pengembangan teknologi nuklir telah diupayakan di Indonesia oleh Batan dengan hasil yang telah membantu meningkatkan kehidupan rakyat di berbagai bidang termasuk bidang peternakan, pertanian, pertambangan, dan kedokteran. “Inilah mengapa Pemerintah melalui Kemristekdikti menerapkan science communication yang bertujuan untuk mengekspos berbagai manfaat tenaga nuklir hingga pengembangan riset lainnya,” kata dia.
Namun, lanjut Djarot, agar penerapannya efektif secara menyeluruh di masyarakat, pemerintah tentunya tidak dapat bekerja sendiri. “Science communication bukan hanya antar scientist saja, namun juga scientist kepada non-scientist. Maka dari itu, kalangan akademisi dirasa turut berperan penting dan bisa memulai terlebih dahulu dalam melakukan komunikasi sains. Selain itu, juga perlu didukung oleh stakeholder lain, termasuk kalangan media,” tambahnya. (Nikson/balipost)