nusa penida
Peternakan sapi di Nusa Penida, Klungkung. (BP/dok)
MANGUPURA, BALIPOST.com – Kuantitas dan kualitas sapi Bali bisa ditingkatkan dengan memanfaatkan teknologi reproduksi yang telah berkembang pesat. Dengan demikian, eksistensi plasma nutfah ini tetap dapat dipertahankan.

Saat ini ada kecenderungan penurunan populasi sapi Bali lantaran berkurangnya lahan pertanian, tingginya angka pemotongan yang tidak seimbang dengan angka kelahiran, dan ada beberapa penyakit yang menyerang sapi Bali. “Penerapan teknologi reproduksi pada ternak sapi telah banyak dilakukan pada berbagai bangsa sapi di dunia termasuk di Indonesia,” ujar Prof. Dr. drh. Tjok Gde Oka Pemayun, MS dalam orasi ilmiahnya usai dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Universitas Udayana di Kampus Unud Bukit Jimbaran, Sabtu (18/11).

Baca juga:  Lalu Lintas Masih Cukup Tinggi, Pembawaan UKA Terbesar di Bali Sebesar 1 Juta Yuan

Menurut Oka Pemayun, teknologi reproduksi yang telah dimanfaatkan secara luas dalam peningkatan produktivitas peternakan adalah teknik Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio. Ada pula teknik cloning pada ternak, namun pemanfaatannya belum seluas dua teknik tersebut. Kendati, teknik cloning untuk menghasilkan individu yang memiliki genetik sama dengan induknya tanpa melalui fertilisasi ini sudah banyak diteliti.

“Inseminasi buatan atau kawin suntik merupakan teknologi generasi pertama yang bertujuan memanfaatkan seekor hewan jantan unggul secara maksimal,” jelasnya.

Oka Pemayun menambahkan, kawin suntik dilakukan dengan cara memasukkan mani ke dalam saluran alat kelamin betina dengan metode atau alat khusus yang disebut insemination gun. Teknik ini telah banyak dimanfaatkan pada ternak sapi termasuk sapi Bali. Peningkatan jumlah keturunan dari pejantan unggul dapat diperoleh secara cepat.

Baca juga:  Empat Pria Bulgaria Diadili Kasus Pengeroyokan

“Dapat pula mengatasi masalah transportasi pejantan untuk mengawini seekor betina dan mengatasi masalah jumlah pejantan unggul dan biaya pemeliharaannya,” imbuhnya.

Untuk aplikasi teknologi transfer embrio, lanjut Oka Pemayun, sudah dikembangkan di Indonesia sejak awal tahun 1980an. Yakni dengan menempatkan embrio ke dalam rahim seekor betina sehingga terjadi kebuntingan dan kelahiran. Namun keberhasilannya masih belum optimal. Hal ini akan berpengaruh terhadap perkembangan dan produktivitas ternak sehingga perlu dilakukan penelitian berkaitan dengan teknologi transfer embrio.

Baca juga:  Hingga September 2023, Realisasi Belanja Negara Mencapai Rp1.967,9 Triliun

“Potensi pejantan dan juga betina dimanfaatkan secara optimal. Secara alamiah, sapi betina unggul hanya menghasilkan keturunan 1 atau 2 pedet setiap tahun. Tapi dengan teknologi transfer embrio bisa menghasilkan lebih dari 2 embrio yang dipanen setiap siklus estrus,” papar Guru Besar dalam Bidang Ilmu Reproduksi Veteriner FKH Unud ini.

Oka Pemayun mengatakan, betina unggul tidak perlu bunting dalam teknologi transfer embrio. Tetapi hanya menghasilkan embrio melalui superovulasi. Selain sumber embrio secara in vivo atau secara langsung dari induk hidup, sumber embrio juga bisa diperoleh secara in vitro dari sapi yang dipotong di rumah potong hewan. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *