JAKARTA, BALIPOST.com – Presiden Joko Widodo menekankan pembangunan di luar Pulau Jawa yang dilakukan pemerintah berorientasi pada pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, ia menolak anggapan bahwa pembangunan infrastruktur yang dijalankan pemerintah selama ini berorientasi politis.
“Kalau mau hitung-hitungan ekonomi ya bangun di Jawa. Kembalian ekonominya lebih cepat. Atau mau kita kalkulasi hal yang berkaitan dengan return politik? Enam puluh persen penduduk ada di Jawa, ya bangun di Jawa saja. Imbal balik politiknya lebih besar. Tapi ini kan bukan itu,” tegas Presiden Jokowi pada pembukaan Simposium Nasional Kebudayaan Tahun 2017 di Balai Kartini, Jakarta, Senin (20/11).
Presiden menegaskan apabila pemerintah hanya mencari keuntungan ekonomi dan imbal politik semata, maka cukup baginya untuk meneruskan pembangunan di Pulau Jawa. Dalam pandangan Jokowi, pembangunan infrastruktur Indonesia adalah pembangunan yang menyatukan segala penjuru Indonesia. Inilah semangat yang selalu diusung dalam kebijakan unggulan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla selama tiga tahun belakangan ini.
Bahkan, untuk pulau-pulau kecil dan terpencil, pemerintah berupaya sekuat tenaga untuk memungkinkan pembangunan bandara-bandara sebagai akses menuju pulau terpencil. “Inilah yang akan menyatukan kita. Bagaimana kita menyatukan 17 ribu pulau kalau infrastruktur kecil-kecil seperti itu tidak kita kerjakan?” ujar Presiden.
Presiden mengatakan pembangunan di luar Pulau Jawa penting untuk mengurangi ketimpangan pembangunan yang selama ini terjadi. “Ini adalah pemerataan pembangunan. Bagaimana kita bisa menyatukan seluruh Tanah Air ini kalau ada ketimpangan infrastruktur antara barat dan timur yang sangat kelihatan?” kata mantan Gubernur DKI Jakarta ini.
Ketimpangan infrastruktur ini tidak akan terasa kalau tidak dilihat dengan mata kepala sendiri. Dalam sejumlah kesempatan, Presiden Joko Widodo berinisiatif untuk turun langsung ke lapangan untuk melihat kondisi. Bahkan, ke tempat-tempat yang berada di zona merah sekalipun. “Dua tahun lalu saya terbang ke Nduga. Nduga itu masih pada posisi merah yang masih rawan sekali. Saat di Wamena saya minta ke Kapolri dan Panglima, saya sampaikan saya ingin ke Nduga. Kapolri dan Panglima menyampaikan ke saya, ‘Pak, ini daerah merah, sebaiknya Bapak tidak ke sana’,” ia menceritakan.
Namun, Presiden tetap bergeming pada pendirian dan keinginannya itu. Ia pun menyaksikan sendiri bagaimana salah satu daerah bagian timur Indonesia itu butuh untuk diperhatikan dan dibangun demi kesejahteraan masyarakatnya. “Kalau hal seperti ini tidak kita perhatikan, keadilan dan pemerataan tidak kita hadirkan, bagaimana kita berbicara mengenai keindonesiaan kita?” tuturnya.
Turut hadir mendampingi Presiden, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Juga hadir Wakil Presiden ke-6 Try Sutrisno. (Hardianto/balipost)