AMLAPURA, BALIPOST.com – Letusan yang terjadi di puncak Gunung Agung disebut sebagai letusan freatik. Letusan itu dipicu banyaknya air yang masuk kedalam rekahan dasar kawah dan bertemu dengan bebatuan panas, sehingga keluar asap kelabu tebal dengan ketinggian 600-700 meter di puncak.
Hal itu diungkapkan kepala Pos Pemantauan Gunung Agung I Dewa Mertayasa, Selasa (21/11). Menurut Dewa Mertayasa, letusan freatik merupakan letusan yang terjadi di kawah.
Atas kondisi itu, mengakibatkan munculnya asal berwarna kelabu dengan ketinggian 600-700 meter di puncak. “Bebatuan yang ada diatas magma panas. Kalau terkana air akan keluar asap. Dan itulah yang terjadi saat ini. Yang jelas letusan ini adalah letusan eksternal. Bukan letusan internal yang berasal dari magmatik,” ungkap Dewa Mertayasa.
Dia menjelaskan, kalau letusan yang terjai baru Freatik bukan letusan magmatik. Sebab, gempa-gempa yang terakam alat seismograf belum mendukung untuk terjadinya letusan magmatik tersebut.
Dewa Mertayasa mengungkapkan, gempa Freatik seperti ini bisa sering terjadi. Apalagi serakarang ini sudah memasuki musim hujan, sehingga letusan freatik ini bisa kembali terjadi. “Besok mungkin ada lagi, dua hari bisa akan ada lagi,” tegasnya sembari menyatakan terjadi tremor non harmonik selama 36 detik.
Namun demikian pihaknya tetap menghimbau kepada masyarakat yang berada di radius 6 kilometer tetap harus waspada. Pasalnya, asap yang dikelurkan tersebut ada disertai dengan abu. “Abu vulkanik yang ikut tercampur bersama asap tetap berbahaya. Hanya saja, jangkauan abu yang dibawa angin ini belum begitu luas. Tapi kita tetap minta warga waspada,” katanya.
Disinggung apakah akan kembali menaikkan status dari siaga ke awas. Dewa Mertayasa menegaskan, untuk menaikkan status tetap harus mengacu data-data dari alat pemantau. Karena pihaknya tidak semudah itu menaikkan level.
“Kita tetap mengaku data yang lain Karena tidak ingin baru keluar asap seperti ini langsung menaikkan status. Jadi harus ada data pendukung untuk menaikkan status itu,” tegas Dewa Mertayasa.(eka prananda/balipost)