JAKARTA, BALIPOST.com – Komisi II DPR RI menggelar rapat dengar pendapat dengan KPU, Bawaslu dan perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri di ruang Komisi II DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/11). Selain membahas tentang perubahan atau revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), rapat juga membahas tentang revisi Peraturan Badan Pengawas Pemilu (PerBawaslu).
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menyatakan ada beberapa perubahan terkait mekanisme yang akan diterapkan dalam revisi PerBawaslu khususnya dalam perekrutan Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota. “Perubahan itu berkaitan dengan misalkan syarat untuk menjadi Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota yang dulu harus S1, sekarang cukup SMA saja,” kata Fritz Edward Siregar.
Selain itu, revisi PerBawaslu juga menambahkan syarat usia menjadi Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota yaitu cukup berusia 30 tahun, dan untuk petugas yang ditempatkan di tempat pemungutan suara (TPS) cukup berusia 25 tahun. “Memang itu syarat berat bagi kami mencari pengawas TPS yang berumur 25 tahun. Tapi itu karena perintah UU, kami akan melakukan perubahan dan berusaha menerapkan sesuai UU nomor 7 tahun 2017. Nah, itulah kira-kira yang tadi kita bahas di dalam,” katanya.
Ketua Bawaslu menyoroti tentang pelanggaran pemilu maupun pilkada oleh peserta pemilu. Dalam hal ini, Bawaslu akan terus meminimalisir proses konektivitas antar Bawaslu dan KPU.
Langkah ini penting, karena sesuai mekansime yang ada, tiap pelanggaran yang terjadi, KPU akan menindaklanjutinya sebagai tindaklanjut dari hasil rekomendasi Bawaslu. Abhdan menegaskan segala bentuk dan rekomendasi yang diterbitkan Bawaslu harus dijalankan KPU. “Posisi kami memberikan kajian dan UU dalam putusan tersebut, rekomendasi itu pun bersifat mengikat yang harus diteruskan dan ditindaklanjuti,” ujarnya.
Untuk menghindari kesalahan pengambilan rekomendasi, Bawaslu akan melakukan sosialisasi dan supervisi terhadap jajarannya maupun kepada pasangan calon kepala daerah dan tim pendukungnya. Sosialisasi terkait dengan regulasi, yaitu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. “Artinya, jangan sampai kami seolah-olah menjebak sebuah pelanggaran terhadap pasangan calon, makanya kami sosialisasi,” kata Abhan. (Hardianto/balipost)