AMLAPURA, BALIPOST.com – Ketut Sudiarta adalah satu dari puluhan ribu warga yang harus mengungsi karena status Awas Gunung Agung. Ditemui Senin (27/11), pengungsi asal Banjar Dinas Tihingan Kangin, Desa Bebandem ini mengaku baru mengungsi pada Senin sore.
Buruh di lokasi galian C Desa Bebandem ini mengatakan, sebelumnya dia dan keluarganya belum berani mengungsi karena belum ada arahan dari klian banjar dinas setempat. Padahal, sejak dua hari sebelumnya di sekitar rumahnya sudah pekat dengan hujan abu vulkanik dan terjangan banjir lahar dingin. “Waktu itu masker pun tidak ada. Kami hanya melindungi hidung dengan baju dan jaket. Sekadar menutup hidung. Saat itu sangat bingung, apakah akan sama-sama tenggelam disini, karena bau gas belerang juga sudah sangat menyengat,” kata pria paruh baya ini.
Sejak status awas pertama pada 22 September lalu, dia bersama istri Nengah Rati dan tiga anak perempuannya sudah bingung. Sebab, sepulang dari tempat pengungsian pertama di Desa Ngis, Kecamatan Manggis, setelah status awas turun jadi siaga waktu itu, bekal dari hasil obral ternak sudah habis.
Sebulan di tempat pengungsian saat itu, bekal terakhir sekitar Rp 2 juta habis. Untuk bertahan hidup, sepulang dari pengungsian pria ini mengaku sempat mengadu nasib kembali menjadi buruh galian di sekitar lokasi galian Tukad Krekuk, Bebandem.
Belum sempat memetik hasil, Gunung Agung kembali menunjukkan peningkatan aktivitas. Asap hitam terus mengepul dari kepundan Gunung Agung.
Sekarang, pascamengungsi lagi setelah status awas yang kedua, praktis dia tanpa bekal dan kehilangan mata pencahariannya. Dulu, kalau tak bisa maburuh, opsi lain bisa menjadi petani dan menggarap lahan tegalan salak. Tetapi, bercocok tanam sayur dan buah juga sekarang tak memungkinkan karena terus turun hujan abu.
Demikian juga mengolah tegalan pun tak bisa karena abu vulkanik sangat berbahaya bagi pernapasan. Apalagi setelah ada arahan agar wilayah di desanya sementara steril.
“Status awas pertama, bekal sudah habis. Sekarang status awas kedua bingung cari bekal. Mungkin akan pinjam dulu, karena modal ternak juga sudah tak ada. Banyak warga di tempat kami menghadapi situasi serupa. Syukur kalau warga lainnya masih punya sapi, bisa segera dijual lagi,” keluh warga setempat lainnya Wayan Suartika.
Menghadapi gelombang pengungsi yang kedua, kini dia hanya bertahan hidup dari sarana logistik yang ada di lokasi pengungsian. Pihaknya berharap situasi ini cepat berlalu, Gunung Agung kembali tenang dan segera bisa kembali pulang, agar bisa bekerja seperti biasa. (Bagiarta/balipost)