Gunung Agung. (BP/dok)
DENPASAR, BALIPOST.com – Kepulan asap tebal yang sebelumnya terus teramati mencapai ketinggian 1.500-2000 meter di puncak Gunung Agung, kini tidak terlihat lagi. Atas kondisi itu PVMBG merefleksikan ada dua kemungkinan yang terjadi di dalam gunung terbesar di Bali itu.

Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur Dedy Kamil Syahbana mengungkapkan, mulai pukul 19.00 Wita, Minggu (2/12), asap yang teramati dari Pos Rendang sangat tipis bahkan nyaris tidak teramati. Aktivitas kegempaan saat ini juga relatif tenang, gas SO2 yang terukur tadi turun drastis konsentrasinya dibandingkan fase erupsi eksplosif 26-27 November.

Saat ini nilai gas SO2 lebih rendah 20 kalinya. Atas kondisi ini, ia menduga dua kemungkinan yang terjadi di dalam Gunung Agung. Pertama, magma yang naik ke permukaan lajunya melemah karena kehilangan energi akibat gas magmatik telah semakin berkurang pascaerupsi dan pada akhirnya habis. Aktivitas ini menuju keseimbangan (equilibrium).

Baca juga:  Ini Kata Danrem, Terkait Putusan MK

Kedua terjadi penyumbatan pada pipa magma, fluida magma yang bergerak ke permukaan terhalang oleh lava di permukaan yang mendingin dan mengeras.

“Jika kemungkinan pertama yang terjadi, potensi terjadinya erupsi akan berkurang karena magma kehilangan mobilitasnya. Bahkan erupsi-erupsi selanjutnya bisa jadi tidak teramati lagi dalam waktu dekat sampai magma baru suatu saat nanti lahir lagi. Namun kalau kemungkinan kedua yang terjadi, potensi terjadinya erupsi akan meningkat karena akumulasi tekanan magma bertambah,” jelasnya.

Baca juga:  Kios Penjual Kain di Besakih Sepi Pembeli

Pada waktu tertentu, ketika lava yang menutupi keluarnya magma tadi kekuatannya lebih rendah dari tekanan yang diakumulasi di bawahnya, erupsi dapat terjadi. Dia menambahkan, jika kemungkinan kedua yang terjadi, yaitu jika terjadi penyumbatan, maka ada dua kemungkinan lagi yang dapat terjadi yakni masa tenangnya gunung akan lama, kemungkinan akumulasi tekanannya semakin besar, erupsi memungkinkan terjadi lebih eksplosif dari erupsi sebelumnya.

Sebab, pada erupsi tahun 1963 lalu terdapat fase istirahat sekitar 2 minggu sebelum terjadinya erupsi utama yang mencapai ketinggian sekitar 23 km. Dan jika masa tenangnya pendek, kemungkinan akumulasi tekanannya tidak besar, erupsi memungkinkan untuk terjadi dengan dengan eksplosivitas mirip erupsi sebelumnya atau lebih rendah dari pada erupsi utama tahun 1963.

Baca juga:  Ikuti Simulasi Pengamanan KTT G20, Luhut: Kita Bukan Bangsa Ecek-ecek

“Sampai saat ini vulkanologi belum bisa didekati dengan metode deterministik. Mengingat vulkanologi adalah sains yang didekati metode probabilistik, dimana unsur ketidakpastian harus selalu dimasukkan. Meskipun kita menjelaskan beberapa kemungkinan, bisa jadi Agung punya rencananya sendiri yang tidak masuk ke kemungkinan di atas,” tegasnya.

Lebih lanjut dikatakannya, pihaknya meminta masyarakat untuk bisa bersabar menunggu perkembangan data. Karena dengan kondisi ini, pihaknya tidak boleh lengah dan harus selalu siap siaga dengan segala kemungkinan. “Mudah-mudahan Agung memilih jalan yang kita harapkan, yaitu kemungkinan pertama erupsinya selesai, supaya masyarakat bisa segera pulang dari pengungsian dan kembali beraktivitas normal,” harap Devy Syahbana. (Eka Parananda/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *