JAKARTA, BALIPOST.com- Calon Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto meyakini persoalan konflik konunal berbasis Suku, Agama, dan Ras (SARA) akan selalu ada di tengah masyarakat.
Menurutnya, potensi ancaman konflik ini sangat serius, karena bisa berubah menjadi konflik horizontal dan berpotensi menjadi gerakan pemberontakan yang dapat mengancam keberadaan pemerintahan yang sah.
“Konflik komunal yang berbasis Suku, Agama dan Ras sudah pasti akan selalu ada. Namun apabila persoalan ini tidak dapat dikelola secara baik maka akan berubah menjadi konflik horizontal yang berpotensi merongrong legitimasi pemerintahan yang sah atau pemberontakan,” kata Marsekal Hadi Tjahjanto saat memaparkan visi, misi dan program Calon Panglima TNI di ruang Komisi I DPR, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/12).
Hadi menjelaskan, pada dasarnya potensi ancaman dapat dikategorikan dalam tiga yaitu di tingkat global, regional dan nasional. Selain menyinggung konflik komunal di tingkat nasional itu, dua potensi ancaman lain di tingkat global dan regional juga disinggung Marsekal Hadi Tjahjanto dalam rapat yang mengagendakan uji kelayakan dan kepatutan fit and proper test) calon Panglima TNI.
Menurut Hadi, Dalam paparannya, Marsekal Hadi menyinggung manuver militer Tiongkok di tingkat regional. “Kemajuan Tiongkok yang sangat cepat adalah suatu yang patut dicermati. Dalam waktu singkat, Tiongkok telah mengubah konstelasi politik global dengan kekuatan ekonominya, termasuk melalui pengembangan militer,” ujarnya.
Menurut Masekal Hadi, slogan China Offensive yang kerap diviralkan oleh Pemerintah Tiongkok merupakan satu upaya untuk mengemas kebangkitan fenomenal. Dengan slogan itu juga, katanya, Tiongkok melakukan manuver agresifnya di Laut China Selatan.
“Praktiknya Tiongkok bersikap ofensif dan agresif terutama dalam memenuhi ambisinya untuk menguasai Laut China Selatan. Saat ini Tiongkok bahkan telah membangun pangkalan udara militer di Suvi,” ungkapnya.
Melalui tiga pangkalan militernya, Hadi memperkirakan Tiongkok akan mampu menyelenggarakan perang di seluruh wilayah Laut China Selatan. Tiongkok sendiri saat ini telah memiliki tiga pangkalan militer berskala besar yang baru selesai dibangun di Laut China Selatan. Pangkalan terdiri dari angkatan laut, udara, radar, dan fasilitas pertahanan rudal.
Sedangkan di tingkat global, lulusan Akademi Militer (Akmil) Tahun 1986 ini mengatakan pasca runtuhnya Uni Sovyet terjadi perubahan mendasar dalam kekuatan politik dunia dari bipolar menjadi unipolar. Karena negara super power hanya didominasi satu kekuatan tunggal.
Namun ternyata konstelasi politik dunia itu tidak menemukan kestabilan sehingga muncul polar-polar kekuatan baru di berbagai belahan dunia. Oleh karena itu, pola tersebut kini menjadi uni multi polar dimana super power tidak mampu melaksanakan tindakannya secara unilateral maka perlu bantuan kekuatan regional lainnya. Dia meyakini, kondisi ini akan terus stabil untuk dekade ke depan.
“Namun kekuatan-kekuatan yang berkonflik tidak lagi didominasi oleh entitas negara tapi non negara. Kelanjutannya adalah diameter konflik tidak lagi simetris, melainkan bersifat asimetris, proxy dan hibrida,” ujarnya.
Selain perubahan politik, terjadi pula pergeseran kekuatan bidang ekonomi di tingkat global atau dunia. Hal itu ditandai dengan melemahnya hegemoni super power yang diikuti munculnya kekuatan ekonomi baru seperti China, Rusia, India dan Brazil. “Muncul tatatan dunia baru seiring melemahnya hegemoni superpower seiring munculnya kekuatan ekonomi baru seperti China, Rusia, India dan Brazil,” kata Hadi.
Usai rapat terbuka memaparkan visi, misi dan program kerja ke depan, rapat komisi I dilakukan secara tertutup. Marsekal Hadi selanjutnya memaparkan kebijakan dan strategi TNI.(hardianto/balipost)