DENPASAR, BALIPOST.com – Mantan hakim IB Rai Patiputra yang duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor Denpasar, dalam sidang Rabu (6/12) mendapatkan angin segar dari ahli hukum pidana.
Sementara dalam perkara menghalang -halangi penyidikan tipikor yang muaranya dari SK Bupati Gianyar, serta tercantumnya tandatangan AA Bharata yang diklaim palsu itu, seharusnya dibuktikan terlebih dahulu unsur pemalsuannya.
Hal itu dikatakan dalam pemeriksaan ahli hukum pidana Dr. I Gusti Ketut Aryawan yang memberikan keterangan di depan majelis hakim pimpinan Made Sukereni dan dua hakim anggota Miftahul dan Sumali.
Saat ahli hukum ini ditanya tim kuasa hukum terdakwa berkaitan dengan dugaan pemalsuan SK dan tandatangan bupati, apakah bisa disebut pemalsuan sebelum ada putusan pengadilan? Dr. Aryawan mengatakan untuk dapat seseorang mengatakan palsu atau dipalsukan, harus dibuktikan terlebih dahulu. Salah satu pola pembuktian selain pengadilan adalah uji lab forensik.
Lantas, jika ada dikatakan pemalsuan tandatangan bupati oleh staff atau pegawainya atau karyawan, apakah bisa disebut sah? Tanya tim kuasa hukum Rai Patiputra. Ahli hukum dari Udayana itu mengatakan itu perlu dibuktikan. “Jika memang itu palsu, tandatangan itu batal demi hukum,” sebutnya.
Lanjut dia, pihak ketiga yang membutuhkan tandatangan atau SK bupati itu bisa disebut sebagai korban. Ahli juga mengatakan, pihak ketiga tidak dapat diikat oleh SK yang disebut palsu, sebelum SK atau tandatangan itu menpunyai kekuatan hukum tetap atau incrach.
Dijelaskan, sebelum ada pembatalan, SK atau perjanjian itu masih dianggap sah. Misal 2015 atau 2016, ada obyek sewa tanah yang kemudian masuk pidana korupsi. Apakah orang yang menyewa tanah bisa disebut menghalang-halangngi penyidikan korupsi? Ahli Aryawan mengatakan sebelum kasus terjadi, itu tidak bisa disebut menghalangi. Pasalnya, menghalangi itu artinya ada perlawanan yang masif ataupun aktif serta ada deretan peristiwa.
Mendapat jawaban yang cukup membuat terdakwa Rai Pati lega, tidak demikian halnya dengan jaksa. JPU dari Kejati Bali Budi dan Rika mencoba menjelaskan dan menanyakan bahwa dalam proses penyidikan, tanah itu di sita. Dan bahkan di atas tanah itu sudah ada bangunan. Jaksa menyambung, ketika dilakukan eksekusi tidak bisa karena pemilik bagunan bersikukuh mempertahankan dengan dalih SK bupati.
“Penuntut umum untuk melakukan eksekusi, pemilik bangunan menolak. Jika ada hambatan eksekusi oleh penuntut umum, apakah bisa disebut menghalangi?,” tanya jaksa.
Aryawan mengatakan, bahwa ahli berpendapat bahwa pemegang SK itu tidak menghalang-halangi. “Karena dia punya SK dari pihak berwenang,” jelas Aryawan di muka persidangan.
Lantas, jika orang yang membangun itu memperoleh SK yang tidak benar atau mengantongi SK palsu? Aryawan kembali mengatakan SK yang disebut palsu itu harus dibuktikan terlebih dahulu jika itu memang surat palsu. Dan jika itu memang SK palsu atau tandatangan palsu bupati, maka si pemegang SK tidak bisa menguasai tanah itu.
Soal adanya pembayaran sewa, yang menurut jaksa diserahkan ke orang yang tidak berhak. Ahli hukum mengatakan itu beda kasus. “Kalau palsu dan membawa atau melarikan uang sewa, itu namanya penggelapan,” katanya. (miasa/balipost)