MANGUPURA, BALIPOST.com – Sidang lanjutan kasus dugaan perluasan daratan tanpa izin dan perusakan kawasan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (KSDA-E) di kawasan hutan taman raya (Tahura), Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Rabu (6/12) dilanjutkan dengan sidang pemeriksaan tempat. Saat tim dari Pengadilan Negeri Denpasar tiba, ratusan warga Tanjung Benoa juga ikut turun ke lokasi.
Selain warga, turut hadir Anggota DPR RI dapil Bali, Nyoman Dhamantra untuk memberikan semangat pada Made Wijaya alias Yonda selaku Bandesa Adat Tanjung Benoa, dan lima terdakwa lainnya yakni I Made Marna, I Ketut Sukada, I Made Mentra, I Made Dwi Widnyana dan I Made Suartha. Pada kesempatan tersebut, Dhamantra sangat menyayangkan, kenapa kasus tersebut masih dilanjutkan.
Menurutnya, dalam konstitusi pasal 18 B serta putusan MK, baik itu nomor 45 tahun 2011 tentang prosedur penetapan kawasan hutan oleh negara yang wajib melibatkan masyarakat adat, maupun nomor 95 tahun 2014, yang menyatakan negara dilarang mengkriminalisasi masyarakat yang hidup di kawasan hutan ataupun disekitarnya. “Sudah jelas dan tegas. Jadi dilarang mengkriminalisasi dan mempidanakan,” pungkasnya.
Dikatakannya, apabila kasus ini masih berlatut-larut, kesannya ada upaya kriminalisasi. Karena sesuatu yang seharusnya menurut tata aturan dan tata ketentuan yang ada, bahwa jero Bendesa itu sudah melakukan sesuai dengan apa yang diamanatkan, apalagi menyangkut masalah wewidangan.
Bahkan dalam keputusan MK No 35 tahun 2012 menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara itu sudah jelas. Bahwa yang namanya kawasan hutan milik masyarakat adat, tidak termasuk kawasan hutan negara. “Jadi pengelolaanya diserahkan kepada masyarakat setempat. Dan awig-awig yang mengatur wewidangan itu, sudah ada,” ujarnya.
Ke depan pihaknya berharap ada kesadaran, tentang payung hukum yang menyangkut persoalan pengaturan tata dan kelola Bali agar sesuai dengan adat, tradisi, budaya dan agama yang ada. Payung hukum inilah yang akan memberikan penyesuaian terhadap ketentuan dan aturan yang ada di atasnya. Sehingga pengelolaan pengaturan dan tata kelola adat itu tidak seperti sekarang.
Sementara, Febriyan Anindita selaku Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Region Bali-Nusra melihat ada kekosongan negara dalam menetapkan tersangka ini. Karena pihaknya melihat posisi Jero Bendesa dalam mengelola wilayah adat, sudah sangat jelas dengan awig-awig, maupun melalui proses paruman yang disepakati bersama. Tapi negara masih saja melakukan kiminalisasi. “Sama halnya pada kasus pertama yaitu tahura, secara otomatis negara tidak mengakui wilayah adat yang ada di wilayah Adat Tanjung Benoa,” ucapnya. (YUdi Karnaedi/balipost)