AMLAPURA, BALIPOST.com – Laporan pos pengungsian kekurangan logistik masih saja terjadi. Persoalannya, rupanya bukan pada stok logistik itu, melainkan pada tenaga relawan untuk proses bongkar muat dan distribusi yang sudah jauh berkurang. Tugas ini belakangan lebih banyak dibebankan kepada jajaran TNI. Komandan Satgas Penanganan Bencana Gunung Agung, Letkol Inf. Benny Rahadian, Senin (18/12), mengakui cukup kewalahan, jika hanya mengandalkan jajajarannya saja.
Benny Rahadian mengakui, jumlah relawan, khususnya yang mau ambil bagian dalam bongkar muat dan distribusi sudah jauh berkurang, sejak status awas yang kedua diumumkan. Apalagi, kalau dibandingkan dengan penanganan pascastatus awas pertama. Saat ini, selain jajaran TNI, relawan yang ada hanya beberapa orang saja, itu pun dari OPD terkait. Bahkan, kadang tidak ada satu pun relawan yang membantu, ketika pimpinan OPD – nya juga tak ada.
Sementara, situasi di jajaran TNI sendiri, selain personil yang terbatas, juga sarana angkut mereka yang juga sangat terbatas untuk menjangkau seluruh kecamatan maupun langsung ke titik-titik pengungsian.
“Sudah tiga bulan terakhir, yang bekerja menangani ini adalah TNI. Khawatirnya kalau begini terus, rekan saya (TNI) yang di bawah kasian juga. Kalau logistik gak sampai, malah mereka disalahkan,” kata Benny Rahadian.
Untuk mengatasi ini, dia sebagai Komandan Satgas sudah menyampaikan usul dalam rapat Muspida belum lama ini, agar merekrut warga sebagai relawan. Bahkan, bila perlu adalah para pengungsi. Nanti warga ini bisa diberikan insentif harian. Tetapi, kendalanya, belum ada aturan yang bisa menjadi dasar hukum untuk pemberian insentif harian ini.
Rencana ini sedang digodok oleh pemerintah daerah, agar bisa dibijaksanai. Selain memberdayakan warga, mereka juga mendapat sumber income, sehingga proses distribusi logistik juga bisa menjadi lebih cepat dan tepat sasaran. “Yang direkrut bisa dari pengungsi, bisa dari warga di seputaran posko. Yang penting dekat dengan pusat logistik,” tegasnya.
Disinggung adanya wacana agar bantuan logistik itu diberikan kepada pengungsi dalam bentuk uang dan membeli kebutuhannya sendiri, Dansatgas menilai cara itu kurang mendidik pengungsi. Terlebih, menurutnya kalau diberikan dalam bentuk uang, total pengeluarannya juga akan menjadi lebih besar. Sebut saja misalnya setiap kepala keluarga diberikan uang Rp 500 ribu, kali 71 ribu pengungsi, maka pengeluarannya jauh lebih tinggi dari saat ini.
Sebelumnya, wacana ini sempat mencuat setelah diketahui banyaknya biaya yang dibutuhkan dari membeli logistik, mengangkutnya ke pusat logistik, kemudian mendistribusikannya ke titik-titik pengungsian. Belum lagi, minimnya jumlah relawan bongkar muat dan pendistribusian. Wacana itu sempat menguat, setelah adanya bantuan berupa barang dan makanan yang cepat rusak dan akhirnya tak bisa dimanfaatkan. Melihat dampak-dampak ini, diperlukan suatu formula yang tepat dalam penanganan pengungsi. Sebab, tak ada yang tahu, sampai kapan warga dalam situasi seperti ini. (bagiarta/balipost)