Para pengungsi Gunung Agung mulai merasa jenuh di pengungsian dan meminta agar dipekerjakan. (BP/kmb)
AMLAPURA, BALIPOST.com – Aktivitas monoton di pengungsian mulai membuat sejumlah pengungsi Gunung Agung jenuh. Merekapun berharap bisa dipekerjakan dan pemerintah dapat memfasilitasi keinginan tersebut.

Seperti yang diungkapkan Kadek Artha, salah satu pengungsi dari KRB III. “Bertani sudah tidak mungkin, daerah kami radiusnya dekat dengan puncak gunung. Hujan abu waktu itu bikin semuanya mati,” ungkap pria yang merupakan salah seorang pengungsi yang menempati Wantilan Banjar Segah, Desa/Kecamatan Rendang, Karangasem, Kamis (21/12).

Artha berasal dari Banjar Besakih Kawan, Desa Besakih, Rendang. Banjar tersebut termasuk zona merah karena berada di radius 6 km dari puncak Gunung Agung.

Baca juga:  Kasus Sembuh Bertambah 23 Orang, Kasus Positif Melejit 38 Orang

Sebelum mengungsi, Artha mengandalkan hidup dari bertani dan beternak sapi. Namun sekarang aktivitas itu tidak mungkin dilakoni lagi. Sapinya juga sudah dijual semua, itupun dengan harga yang sangat murah. “Sapi laku Rp 2,5 juta per ekor. Terpaksa saja jual karena sudah tidak ada rumput,” terangnya.

Artha mengaku siap dipekerjakan di mana saja, gaji kecil pun tidak masalah. Yang penting, menurut dia, ada kesibukan untuk mengusir rasa jenuh. Kalaupun pemerintah tidak bisa mencarikan pekerjaan yang bagus, sekedar menjadi buruh angkut logistik pun dia mau. “Di Posko Tanah Ampo tidak masalah, di posko-posko kecamatan juga boleh,” harapnya.

Baca juga:  Pascaletusan Gunung Agung, Pasar Karangsokong Mendadak Sepi 

Soal pengungsi mulai dilanda kejenuhan adalah fakta yang tak bisa dipungkiri. Buktinya banyak warga terutama dari KRB II nekat pulang kampung. Sebagian memang hanya untuk menengok rumah, tapi banyak pula yang nekat pulang karena alasan ekonomi.

I Wayan Suda (50) misalnya. Warga Banjar Tukad Sabuh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat itu hampir setiap hari pulang untuk memanen salak di kebunnya. Dia nekat masuk zona merah meskipun harga salak sedang anjlok, hanya Rp 2.000 per kilogramnya. Untuk jaga-jaga, dia membekali diri dengan handy talkie (HT). “Saya ke kebun sambil membawa HT, pantau informasi dari Pasebaya Gunung Agung,” akunya.

Baca juga:  Masih Kritis, Solfatara di Gunung Agung Capai 50 Meter

Harapan tersebut sejatinya sejalan dengan keinginan Satgas Penanggulangan Erupsi Gunung Agung yang dikomandani Dandim Karangasem, Letkol. Inf. Benny Rahardian. Perwira melati dua itu ingin merekrut buruh untuk membantu kegiatan bongkar muat logistik. Karena Satgas belakangan ini mulai kekurangan relawan padahal aktivitas pengiriman logistik dari Posko Tanah Ampo intensitasnya masih tinggi.

Namun sayangnya rencana tersebut terbentur regulasi. “Sudah kami sampaikan dalam rapat Forkompida, tapi terganjal mekanisme,” ungkap Benny Rahardian, beberapa waktu lalu. (kmb/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *