DENPASAR, BALIPOST.com – Aktivitas pariwisata Bali membutuhkan dukungan listrik dan energi yang tidak sedikit. Namun, bukan berarti Pulau Dewata harus menghasilkan sendiri listriknya.
Sebagai pulau pariwisata, Bali juga harus memikirkan dampak pencemaran udara yang ditimbulkan dari pembangkit listrik. “Kegiatan pariwisata di Pulau Bali ini sangat hebat dan luar biasa. Menurut pemikiran saya, lebih baik sumber energi listriknya dipasok dari daerah lain saja daripada dibangun disini,” ujar Menteri ESDM RI, Ignasius Jonan dalam wawancara khusus dengan Bali TV, Bali Post, dan Indonesia Network di Badung, Kamis (21/12).
Menurut Jonan, konsumsi listrik di Bali secara keseluruhan sejatinya masih lebih rendah dari Surabaya. Kota Pahlawan itu membutuhkan hingga 1000 MW lebih, sementara Bali baru sekitar 800 MW.
Dikatakan, sumber energi diusahakan untuk tidak tergantung dengan negara lain. Tapi tidak masalah untuk bergantung pada pulau lain yang masih dalam satu negara Indonesia.
“Kalau misalnya membangun pembangkit listrik tenaga uap yang energi primernya batu bara, berapapun teknologi yang digunakan pasti menimbulkan polusi. Pulau pariwisata sebaiknya adalah Polution Free,” jelasnya.
Jonan menambahkan, penambahan energi listrik untuk Bali sebaiknya energi baru terbarukan. Ini terkait pencanangan Bali Clean Energy oleh pemerintah pusat. Tidak harus dengan energi panas bumi, tapi bisa juga energi surya (matahari) atau energi hydro (air). Jadi tidak hanya fokus pada PLTU atau pembangkit listrik tenaga diesel dan gas di Pesanggaran, Denpasar.
“Ini pasokan gas ke PLTDG Pesanggaran salah satu yang paling mahal di Indonesia. Bagaimana ini supaya bisa lebih murah? Karena kalau tidak bisa murah, tarif listrik akan naik terus,” paparnya.
Terkait program di Kementerian ESDM sendiri, lanjut Jonan, presiden sudah memberi arahan agar setiap unit kerja pemerintah harus bisa bermanfaat langsung kepada masyarakat semaksimal mungkin. Pihaknya fokus untuk mempertahankan bidang hulu migas agar tidak menurun.
Kemudian, melanjutkan semangat BBM satu harga se-Indonesia dan mendorong masyarakat agar berubah memakai kompor listrik dari kompor gas. Upaya ini dilakukan untuk mewujudkan kemandirian energi karena gas LPG selama ini memang lebih banyak diimpor. Dari kebutuhan 6,5 juta ton konsumsi LPG pertahun, 4,5 juta-nya diimpor karena Indonesia tidak memiliki sejumlah komponen untuk mengubah gas kering yang dihasilkan bangsa ini menjadi LPG.
“Kalau kita beralih ke kompor listrik, listriknya kan dihasilkan dari gas bumi yang dihasilkan di Indonesia. Batu bara juga diproduksi di Indonesia, angin, tenaga matahari, air dan sebagainya diproduksi dalam negeri,” terangnya.
Selain kompor listrik, Jonan juga mendorong masyarakat untuk beralih ke kendaraan listrik untuk mengurangi konsumsi BBM. Sebab, konsumsi BBM per hari mencapai 1,6 – 1,7 juta barel. Sedangkan produksi dalam negeri hanya 800 ribu barel. Kemudian, mengupayakan listrik untuk 2500 desa lebih yang tidak berlistrik dan 10 ribu lagi dengan listrik ala kadarnya.
Salah satunya dengan penyerahan lampu tenaga surya hemat energi. Di bidang pertambangan, pihaknya juga akan fokus menyelesaikan akuisisi saham Freeport Indonesia serta meningkatkan hasil riset di bidang itu.
“Kami tetap punya semangat membangun Indonesia dengan semangat kebhinekaan. Pemerataan pembangunan sangat diperlukan. Subsidi energi, listrik, BBM tetap dijalankan untuk masyarakat kurang mampu atau kurang beruntung,” pungkasnya. (Rindra Devita/balipost)