DENPASAR, BALIPOST.com – Alam dan sosial budaya merupakan aset utama Bali dalam mengembangkan pariwisata. Utamanya yang terkait dengan konsep nyegara gunung, meliputi wana kertih (hutan), danu kertih (danau), dan segara kertih (laut).
Sementara upaya pengelolaan dan pelestariannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, perlu dibangun suatu sistem keuangan jangka panjang yang bisa digunakan khusus untuk mendukung pelestarian dan pengelolaan alam Bali. “Saya ingin kita mendesain sebuah Bali Heritage Fund, itu dana abadi buat Bali yang dialokasikan untuk hutan, danau, laut, cultural sites, waste management, dan innovative agriculture,” ujar Wakil Presiden Conservation International, Ketut Sarjana Putra dalam Workshop Penyusunan Visionary Masterplan Pulau Bali di Kantor Bappeda Litbang Provinsi Bali, Kamis (21/12).
Menurut Sarjana, natural aspek dan sosio-cultural-capital merupakan aset sebenarnya dalam industri pariwisata. Jangan sampai pelaku pariwisata membunuh asetnya sendiri. Sebab, pembangunan yang dilakukan di gunung sampai merusak hutan misalnya, tetap akan berdampak hingga ke laut.
Heritage Fund sendiri sudah diterapkan pemerintah Ekuador untuk melestarikan Pulau Galapagos, dan pemerintah Papua untuk Raja Ampat. “Kalau boleh saya umpamakan, Bali Heritage Fund ini negara Indonesia melestarikan Bali sebagai mesin tourism di Indonesia. Tentunya ada blue print yang harus dibuat,” imbuhnya.
Sebuah blue print juga dibutuhkan untuk mengatasi kemacetan, yang salah satunya disebabkan oleh masih tingginya penggunaan kendaraan pribadi. Padahal, pulau dewata sudah memiliki bus Trans Sarbagita yang nyaman sebagai alternatif kendaraan umum.
Anggota Paiketan Krama Bali, I Made Gede Sudarsana mengatakan, perlu ada keseriusan agar sarana prasarana lain bisa ikut mendukung operasional Trans Sarbagita. Dengan harapan, masyarakat mau beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum untuk mengurai kemacetan. “Kalau bisa kita coba satu hari tidak memakai kendaraan pribadi. Tapi mesti disiapkan juga kantong-kantong parkir dan prasarana bis yang menjangkau ke seluruh arah,” ujarnya.
Menurut Sudarsana, ujicoba satu hari tanpa kendaraan pribadi juga bisa melibatkan angkot atau travel yang menganggur untuk melengkapi jurusan diluar trayek Trans Sarbagita. Namun, terlebih dahulu tetap harus melalui proses pengkajian atau tidak serta merta diterapkan. Termasuk mengenai tarifnya, apakah perlu disubsidi pemerintah atau tidak.
“Ini juga tidak serta merta bisa langsung diterapkan. Harus ada penyuluhan, sosialisasi ke masyarakat, mereka mau atau tidak. Caranya mudah sebetulnya, kalau kita sosialisasi tidak perlu di satu ruangan. Mungkin dengan menyebarkan kuesioner keliling, lewat banjar bisa,” jelas pensiunan Dinas PU ini.
Sudarsana menambahkan, masyarakat umumnya menginginkan sarana transportasi yang nyaman, cepat, dan terjangkau. Artinya, ada jaminan mereka bisa tiba di suatu tempat dengan tepat waktu jika menaiki angkutan umum.
Sementara itu, Kepala Bappeda Litbang Provinsi Bali, I Putu Astawa mengatakan, pembangunan yang dilakukan Pemprov Bali pada prinsipnya harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Bali. Tentunya tanpa harus merusak lingkungan, budaya, dan tidak boleh melanggar aturan. Gubernur sendiri telah menegaskan bahwa Bali sejatinya menjual kebahagiaan atau happiness.
“Kita harus bisa membuat orang yang datang ke Bali itu bahagia,” ujarnya. (Rindra Devita/balipost)