SINGARAJA, BALIPOST.com – Sejumlah pecalang dari lima banjar adat pangemong pura dalem di Desa pakraman Buleleng mengikuti pelatihan tentang tugas pokok dan fungsi (Tupoksi-red) akhir pekan lalu di sekretariat Desa Pakraman Buleleng.
Perwakilan pecalang ini masing-masing dari Banjar Adat Penataran, Delod Peken, Banjar Petak, Banjar Tengah dan Banjar Peguyangan. Pelatihan ini memberikan pemahaman tentang tupoksi setiap anggota pecalang.
Kelian Desa Pakraman Buleleng Nyoman Sutrisna, mengatakan, pecalang memiliki tanggungjawab berat dalam melaksanakan tupoksi di wilayah banjar adat masing-masing. Tugas dan tanggungjawab yang berat itu menuntut, setiap anggota pecalang harus memiliki kemampuan memadai. Paling penting pecalang memahami tuposki, sehingga menghilangkan kesan oferleving sampai kesan arogan dalam melaksanakan tugasnya.
Untuk itu, pelatihan dalam meningatkan kinerja sumberdaya manusia (SDM) pecalang sangat penting dilakukan, sehingga pecalang semakin profesional sebagai lembaga pengaman di wewidangan desa pakraman.
Selain meningkatkan kinerja SDM, pihaknya sudah menyiapkan sarana komunikasi dengan pesawat HT untuk setiap kelian pecalang dan kelian banjar adat.
Menurut peria yang juga menjabat Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Buleleng ini mengatakan, sesuai artinya pecalang desa adat adalah pecalang yang kedudukan, peran dan fungsinya menjamin ketertiban, keamanan, rasa aman dan nyaman warga desa adat dalam melaksanakan aktifitas baik pawongan, palemahan maupun menjaga kesucian Tri Mandala desa adat. “Seorang pecalang harus menjadi figur dalam kehidupan sehari-hari di banjar adat masing-masing,” katanya.
Sementara itu salah satu narasumber Made Rimbawa mengatakan,setiap anggota pecalang tetap memaknai konsep tiga warna “Tri Kona” (Hitam, Merah dan Putih). Konsep Tri Kona di Buleleng muncul pada 1815 silam pada masa pemerintahan Anak Agung Ngurah Jelantik.
Sementara itu, terkait busana dalam pada tugas resmi, menurut Rimbawa, enam hal yang harus diperhatikan leh setiap anggota pecalang. Peraturan berbuasana itu diantaranya menggunakan destar, kain, kampuh poleng, baju (sejenis rompi), membawa keris (kadutan-red), dan mesumpang waribang di atas daun telinga. “Ini harus terus dipahami karena pemahaman tupoksi termasuk buasana ini mencerminkan profesionalisme setiap pecalang yang diberikan kepercayaan dalam menjaga situasi di wewidangan desa pakraman masing-masing,” jelasnya. (mudiarta/balipost)