SINGARAJA, BALIPOST.com – Melonjaknya harga beras di pasar tradisional dan juga supermarket belakangan ini, ternyata bukan karena produksi gabah di tingkat petani terbatas. Hal ini terbukti produksi gabah kering panen (GKP) di daerah ini mencapai sebanyak 65.093 ton. Hanya saja, tidak semua produksi itu diolah menjadi beras oleh perusahaan penggilingan padi di Bali Utara. Gabah banyak dibeli perusahaan luar daerah bahkan dari Jawa, sehinga kondisi ini menyebabkan stok beras di daerah ini berkurang, hingga memicu kenaikan yang semakin tidak terkendali.
Kepala Dinas Pertanian (Distan) Buleleng Nyoman Swatantra di ruang kerjanya Rabu (10/1) mengatakan, kalau saja seluruh produksi gabah petani diolah menjadi beras oleh perusahaan lokal, dipastikan stok beras akan memadai.
Dari catatatan terakhir Oktober 2017 Buleleng masih kelebihan stok beras 3.679 ton. Sayangnya, produksi gabah di tingkat petani setiap musim panen hanya sebagian kecil saja dibeli oleh anggota Persatuan Penggilaingan Padi (Perpadi) Buleleng. Sebaliknya, gabah petani di daeahnya kebanyakan dibeli oleh perusahaan asal Kabupaten Jembrana hingga di Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim). Setelah gabah yang diolah menjadi beras itu diduga ditahan di daerah asal. Akibatnya, kebutuhan beras ke Bali termasuk Buleleng terus berkurang.
“Kalau dihitung dari produksi gabah dan kalau diolah di daerah kita, pastinya stok beras kita aman. Tapi karena gabah banyak dibeli oleh perusahaan luar dan diolah di sana berasnya bisa saja ditahan sehingga menyebabkan stok beras di daerah turun dan memicu kenaikan harga,” katanya.
Menurut Swatantra, dari dukungan sarana dan prasarana (Sarpras-red), perusahaan lokal memiliki kemampuan mengolah baha petani menajdi beras. Hanya saja, perusahaan lokal di daerahnya banyak mengalami kesulitan modal. Modal yang “pas-pasan” itu membuat perusahaan lokal tidak bisa membeli gabah petani dengan optimal. Sementara, perusahaan luar daerah yang memiliki modal besar bebas membeli gabah petani di Buleleng. Atas kondisi ini, pihaknya mengajak perusahaan lokal agar bisa menambah modal mereka.
Dengan demikian, setiap musim panen, lebih banyak padi di Buleleng dibeli oleh perusahaan lokal itu sendiri. Selain itu, sedikitnya perusahaan penggilingan yang masuk anggota perpadi membuat padi siap panen tidak bisa diolah oleh perusahaan dalam daerah sendiri.
“Modal yang tidak memadai, sehingga perusahaan kita kalah saing dengan ayng dari luar. Situasinya juga ditambah parah lagi karena sedikit perusahaan menjadi anggota perpadi, sehingga padi siap panen tidak bisa diolah dengan optimal. Kita harapkan masalah ini diatasi oleh pengurus perpadi untuk bisa bersaing dengan perusahaan luar daerah,” katanya.
Di tempat terpisah Kepala Dinas Perdagangan Perindustrian (Didagprin) Buleleng Ketut Suparto mengatakan, harga beras beberaap hari terakhir ini meningkat dibandingkan hari biasanya. Jika sebelumnya harga beras premium Rp 12.250 tiap kilogram dan jenis medium Rp 9.450 per kilogram. Faktanya, belakangan harganya melonjak mencapai Rp 15.000 tiap kilogram. Terkait penyebab, dia memperkirakan karena stok beras di pasaran menipis, sehingga memicu kenaikan harga tersebut. Untuk mengendalikan harga beras, Disdagprin telah mendata pengepul, agen, dan pengecer beras di Buleleng. Selanjutnya data itu akan diserahkan ke Bulog Provinsi Bali untuk segara dipasok beras, sehingga harganya akan kembali stabil sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET-red).
“Mudah-mudahan tidak ada penimbunan. Yang pasti kenaikan ini karena stok beras kita berkurang, dan saya sudah data pengepul, pengecer dan agen untuk segara mendapat pasokan beras dari Bulog, sehingga harga kembali normal,” jelasnya. (mudiarta/balipost)