penglipuran
Desa adat Penglipuran, salah satu DTW di Bangli yang masih melestarikan bentuk bangunan stil Bali. (BP/dok)

BANGLI, BALIPOST.com – Keberadaan desa wisata di Bangli selama ini terkesan berjalan sendiri-sendiri. Kondisi tersebut disoroti Ketua DPRD Bangli, Ngakan Kutha Parwata, Minggu (14/1).

Ia mengatakan kondisi itu terjadi tidak terlepas dari kurangnya dukungan Pemkab Bangli dalam pengembangan desa wisata. Kutha Parwata menyebutkan saat ini di Bangli terdapat 26 desa wisata. Dia menilai keberadaan puluhan desa wisata di Bangli tidak berjalan optimal. Hanya beberapa desa saja yang berkembang.

Menurutnya ini terjadi karena dukungan Pemkab Bangli dalam hal pembangunan sarana dan prasarana di desa wisata, dirasakannya masih sangat kurang. “Sekarang desa wisata kesannya berjalan sendiri-sendiri,’’ katanya.

Baca juga:  Tak Punya CHSE, Desa Wisata Tak Direkomendasi Dikunjungi Wisatawan

Kutha Parwata mengatakan potensi di desa wisata yang muncul dari geliat masyarakat di bawah harusnya disikapi instansi terkait. Politisi asal Desa Bangbang ini menyebutkan dalam mengembangkan desa wisata, bentuk dukungan yang bisa diberikan Pemkab salah satunya berupa perbaikan sarana infrastruktur.

Dalam mendukung desa wisata, keberadaan OPD di Pemkab Bangli harus bersinergi. Tidak bisa ditangani satu OPD yakni Disparbud. Misalnya untuk memperbaiki infrastruktur jalan, harus ditangani Dinas PU. Sementara untuk keasrian pertamannya, dibantu Dinas Lingkungan Hidup.

Baca juga:  Harus Terus Diperjuangkan, Kepariwisataan yang Untungkan Masyarakat Desa dan Konservasi Alam

Kutha Parwata mengaku selama ini pihaknya sangat mendukung keberadaan desa wisata di Bangli. Pihaknya membuktikannya dengan mendorong anggaran pembentukan Pokdarwis pada 2017 lalu. Melalui Pokdarwis ini, desa wisata sudah diberikan pelatihan-pelatihan.

Sementara itu, Kabid Bina Obyek Disparbud Kabupaten Bangli, Wayan Bona saat dikonfirmasi mengatakan, Pemkab Bangli berperan memfasilitasi dengan memberikan payung hukum bahwa desa bersangkutan berstatus desa wisata. Sementara mengenai pembangunan dan pengembangannya dilakukan oleh desa wisata masing-masing.

Baca juga:  Tertimpa Pohon Kelapa, Tiang Listrik Rusak Penyengker dan Sepeda Motor

Sesuai Perbup terkait desa wisata, kata dia, pembangunan fasilitas pendukung untuk pegembangan desa wisata bisa menggunakan dana alokasi dana desa (ADD) yang dimiliki masing-masing desa. “Terkait aset, kita kan susah sekarang. Lebih-lebih asset ini kan harus jelas. Supaya aman, desa kan bebas membangun sendiri yang penting sudah menyandang status desa wisata,” kata Bona. (Dayu Swasrina/balipost)

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. Maaf tapi apa seluruh Bali harus menjadi obyek wisata? Saya asal Amerika serikat. Masa SMA dan kuliah saya tinggal di desa kecil di kawasan gunung. Tidak layak berkeluarga. Orang berlibur suka pesta miras setiap malam dan ajak anak lokal ikut. Terus pada usia 50 saya tinggal di Berawa, Kuta Utara yaitu sekitar 2010. Pada saat itu masih bisa bilang kawasan adat. Pantai sepi. Sawah dan sapi masih banyak. Sekarang semua orang bilang rusak. Desa bule dan kampung Jawa. Pantai Berawa dikenal dengan nama baru yaitu Finn’s Beach. Tidak ada rasa adat lagi. Tidak ada sapi di pantai lagi. Diganti dengan bule telanjang dan pesta miras. Sehingga bule hampir telanjang lewat pura yg baru direnovasi. Bisa pimpinan coba lebih kreatif dalam persoalan pembangunan ekonomi Bali? Apakah pimpinan Bali yakin paling generasi muda bisa menjadi pelayan di restoran, hotel dan villa? Lahan di Bali subur. Masyarakat Bali pintar kerja seni dan kerja tangan. Ada sekolah banyak untuk pariwisata tapi coba cari SMK khusus teknologi pertanian dan industri rumah tangga! Semoga pimpinan Bali di masa depan bisa percaya lebih dengan kemungkinan masyarakat Bali. Maaf kalau ada yang salah.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *