DENPASAR, BALIPOST.com – Mengelola sampah medis baik cair maupun padat membuat rumah sakit dilema. Rumah sakit diwajibkan memiliki pengolahan limbah medis. Limbah medis terdiri dari dua bentuk yaitu cair dan padat.
Limbah medis cair dapat diolah pada IPAL masing-masing RS. Sedangkan limbah medis padat bisa dikelola dengan incenerator. Hanya saja pengolahan limbah medis padat memerlukan ijin Amdal dari Kementerian Lingkungan Hidup. Hal ini membutuhkan proses yang panjang dan tidak mudah.
Ketua Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Cabang Bali, dr. I Gede Wiryana Patra Jaya, M.Kes., mengatakan, pihaknya mendorong pemerintah yaitu Dinas Lingkungan Hidup untuk membangun pengolahan limbah medis padat. “Itu yang kita dorong, kami minta LH (Lingkungan Hidup) untuk fasilitas pengolahan agar ada di Bali. Entah pemerintah yang buat atau dikerjasamakan dengan pihak ketiga,” ujarnya Selasa (16/1).
Padahal lokasi pengolahan telah ditetapkan yaitu di Pengambengan Negara dan Celukan Bawang Singaraja. Selama ini limbah medis padat dari rumah sakit khususnya RS swasta dikerjasamakan dengan pihak ketiga.
Sementara RS pemerintah rata-rata telah memiliki incenerator (pengolah limbah medis padat). Itupun pihak ketiga yang diajak bekerjasama harus memiliki ijin dan dapat dibuktikan.
Untuk saat ini pihak ketiga mengolah sampah medisnya di Jawa Timur dan Jawa Barat. Hal ini menyebabkan biaya pengolahan limbah yang dikeluarkan masing-masing RS menjadi tinggi. Ditambah lagi, tidak setiap hari rekanan tersebut mengambil sampah medis dari rumah sakit. Maka dari itu rumah sakit yang tidak memiliki alat pengolah limbah, harus memiliki tempat penampungan sementara.
Dokter Patra juga mengkhawatirkan pengangkutan sampah medis dari Bali ke Jawa tentu kuman atau virus yang ada pada sampah tersebut akan beterbangan ketika diangkut. Hal ini tentu tidak aman bagi kesehatan.
Memiliki pengolah limbah medis dan tempat penampungan sampah medis sementara merupakan syarat rumah sakit dalam mengikuti akreditasi. “Sebelum mengikuti akreditasi, rumah sakit disurvei oleh surveyor. Yang disurvei itu termasuk tempat penampungan sementaranya bagi rumah sakit yang bekerjasama dengan pihak ketiga,” jelasnya.
Lanjutnya, yang kedua dimintakan adalah kerjasama pengolahan limbah medisnya dengan siapa. Kalau dulu kebanyakan bekerjasama dengan RSUP Sanglah dan RS Tabanan. Tapi sekarang mereka kewalahan. “Akhirnya kita kerjasamakan dengan pihak ketiga. Termasuk kita harus yakini tempat mengolahnya. Pihak RS harus melihat ke sana,” bebernya.
Pengolahan limbah medis juga tidak sembarangan. Ada standar yang harus dipenuhi dari Kementerian Lingkungan Hidup. Bisa dengan cara dibakar, dipress atau yang lain. Meskipun rumah sakit memiliki alat pengolah limbah medis berupa incenerator, namun belum tentu bisa langsung difungsikan karena harus menunggu izin.
Pihaknya menegaskan TPA Suwung bukan tempat pembuangan sampah medis. Terkait temuan sampah medis di TPA Suwung, pihaknya menduga terjadi dua kemungkinan. Yaitu pihak ketiga yang bekerjasama dengan rumah sakit atau pihak rumah sakit yang membuang ke TPA Suwung. (Citta Maya/balipost)