panen
Petani di Desa Pakistaji, Kecamatan Kabat, Banyuwangi sedang panen padi, Rabu (17/1). (BP/udi)

 

BANYUWANGI, BALIPOST.com – Petani padi di Banyuwangi, Jawa Timur mulai sumringah. Beberapa pekan terakhir, harga gabah merangkak naik. Meski hasil panen turun, naiknya harga ini mengobati kegelisahan petani. Mereka berharap naiknya harga gabah bisa stabil. Tidak anjlok lagi akibat rencana impor beras.

Harga gabah di kabupaten tetangga Bali ini tembus Rp 5400 – Rp 5500 per kilogram. Sebelumnya, harga gabah berkisar Rp 5000 per kilogram. Bahkan, sempat tembus hanya Rp 4200 per kilogram. “Harga gabah saat ini cukup tinggi. Meski hasil panen kita cenderung turun akibat cuaca dan hama,” kata Muklisudin (54), petani asal Desa Pakistaji, Kecamatan Kabat, Banyuwangi, Rabu (17/1).

Baca juga:  Anggaran Sudah Besar, Penelitian Pertanian Jangan Dilupakan

Pria ini menjelaskan, dalam kondisi normal, hasil panen rata-rata 5,5 ton per hektar. Akibat cuaca hujan dan serangan hama, hasil panen berkurang hingga 1 ton per hektar. Kondisi ini dipicu kualitas bulir padi yang kurang bagus. Lalu, bulir padi kosong setelah diserang hama penggerek batang dan wereng. “ Kendala petani kalau tidak cuaca, ya hama,” keluhnya. Untungnya, kata Muklisidin, harga gabah meroket naik. Sehingga, petani bisa merasakan hasil yang lumayan.

Baca juga:  Batas Waktu Tinggal Sebulan, Di Tabanan Baru 32 Persen Koperasi Gelar RAT

Menurutnya, tingginya biaya tanam menuntut hasil panen melimpah dan harga yang stabil. Biaya tanam padi, kata dia, rata-rata menghabiskan Rp 5,5 juta hingga Rp 6 juta per hektar. Jika hasil panen turun dan harga tak sampai Rp 5000 per kilogram, petani dipastikan merugi. “ Idealnya, harga padi itu Rp 5000 per kilogram. Petani bisa sejahtera. Kalau di kisaran Rp 4200, pasti merugi. Biaya tanam kan mahal,” jelas pria yang memiliki empat hektar lahan ini.

Muklisidin menambahkan, sejatinya, keinginan petani padi tidak muluk-muluk. Selain saluran irigasi yang cukup, pemerintah diharapkan menyediakan bibit padi berkualitas. Salah satunya, bisa menghasilkan 8 ton gabah per hektar. Selama ini, bibit yang tersedia hanya mampu menghasilkan rata-rata 5 ton per hektar. Selain itu, harga juga dibuat stabil. Sayangnya, selama ini, harga gabah cenderung berubah-ubah. Apalagi, ketika muncul kebijakan impor beras. “ Kalau sudah impor beras, otomatis harga gabah di tingkat petani akan anjlok. Lagi-lagi, kami yang rugi,” ujarnya.

Baca juga:  Perkebunan Peninggalan Belanda Menjadi Destinasi Wisata  

Karena itu, pihaknya menolak keras jika pemerintah melakukan impor beras. Sebab, akan berdampak buruk ke petani. (budi wiriyanto/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *