DENPASAR, BALIPOST.com – Rencana PLN membangun Jabali Crossing berkekuatan 500KV tidak hanya ditentang PHDI tapi juga Kadin Bali. Karena selama ini PLN menjual listrik ke industri pariwisata di Bali dengan harga lebih mahal.
Seharusnya keuntungan dari penjualan listrik yang mahal tersebut digunakan untuk membangun pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT). Untuk itu Kadin Bali menantang PLN buka-bukaan soal harga listrik. “Kita ingin Bali mandiri secara energi dan memanfaatkan EBT. PLN harus berani beli mahal listrik dari EBT itu. Karena dia jual ke industri pariwisata di Bali mahal,” cetus Ketua Umum Kadin Bali, AA. Ngurah Alit Wiraputra.
Ia menuturkan, pengusaha hotel dengan 30 kamar membayar listrik PLN cukup mahal setiap bulannya yaitu Rp 100 juta per bulan. Jika kamar hotel 100, berarti pengusaha hotel harus membayar listrik lebih dari Rp 200 juta per bulan.
Sementara untuk villa yang jumlah 30, biaya listrik yang dibayar setiap bulannya Rp 75 juta. Menurutnya, listrik yang dijual ke industri pariwisata harganya lebih dari USD 25 sen per kWh.
Padahal PLN membeli listrik dari Jawa hanya USD 6,5 sen per kWh. Sehingga keuntungan yang didapat PLN sangat besar. Jika tingginya harga listrik tersebut untuk subsidi ke masyarakat, menurutnya tidak ada masyarakat Bali yang mendapat subsidi.
Oleh karena itu Kadin meminta PLN transparan terhadap masalah harga tersebut. “Kadin menantang PLN buka-bukaan masalah harga. Berapa dia jual ke industri, berapa dia jual ke masyarakat yang katanya disubsidi. PLN Bali surplus kok, keuntungannya besar. Masyarakat Bali membeli listrik dengan token, itu harganya bahkan bukan USD 25 sen per kWH tapi USD 28 sen per kWH. Itupun cepat habis. Beli Rp 100.000, seminggu sudah habis,” ujarnya.
Sehingga keuntungan yang didapat dari tingginya harga listrik seharusnya bisa untuk membangun pembangkit EBT dan seharusnya Bali bisa mandiri secara energi. Kalaupun nantinya listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik EBT lebih mahal, lebih dari USD 18 sen per kWh, menurutnya industri pariwisata tidak masalah untuk membeli dengan hara segitu.
Karena saat inipun harga listrik PLN sudah mahal. PLN beralasan pembangunan pembangkit dari EBT butuh investasi yang besar. Investasinya bisa mencapai Rp 1,2 triliun untuk mendapatkan daya listrik 20MW dari pengolahan sampah TPA Suwung. “Pengolahan sampah ini memang investasinya cukup besar. Hampir 5 kali lipat lebih besar dari PLTU dan energi lainnya. Padahal kalau energi yang lain seperti PLTU untuk 200 MW butuh investasi Rp 1,2 triliun. Sehingga dengan dibeli oleh pemerintah dengan harga USD 6,5 sen, tidak masuk,” bebernya.
Oleh karena PLN menjual listrik ke industri pariwisata mahal, sehingga PLN harus mau membeli listrik dari pengolahan sampah itu di atas USD 18 sen per kWh.
General Manager PLN (Persero) Distribusi Bali, Nyoman Suwarjoni Astawa mengatakan, dengan adanya Jabali Crossing tidak hanya akan menghindarkan Bali dari defisit listrik, tapi juga harga listrik di Bali menjadi lebih murah. Dengan adanya Jabali Crossing, harga listrik bisa semakin murah dan semakin berwawasan lingkungan. “Bukan hanya dari sisi keandalan yang harus kita perhatikan, tapi juga dari sisi ekonomis,” ujarnya.
Ia mengatakan, harga listrik bisa lebih murah karena pembangkit-pembangkit yang dibangun dengan 35.000 MW ini, hampir 26.000 MW dibangun di Jawa. Pembangkit yang dibangun ini skalanya 600 MW bahkan 1.000 MW yang harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan pembangkit yang lama. (Citta Maya/balipost)