DENPASAR, BALIPOST.com – Di awal tahun 2017, Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Bali melakukan rapat koordinasi (rakor) pascarehabilitasi pada Kamis (25/1). Rakor ini merupakan yang kedua kalinya dilaksanakan. Dihadiri para konselor, rumah sakit dan yayasan yang melaksanakan kegiatan pascarehabilitasi.
Kepala BNNP Bali, Drs. I Gede Putu Suastawa, SH dalam rapat mengatakan, penelitian dari Direktorat Pascarehabilitasi BNN, klien yang tidak mengikuti program pascarehabilitasi, tingkat kecendrungan untuk relaps tinggi yaitu 70 persen. Sedangkan klien rehabilitasi yang mengikuti pascarehabilitasi tingkat kecenderungan relaps sebesar 30 persen.
Saat ini masih sedikit klien yang mengikuti kegiatan pascarehabilitasi. Padahal kegiatan pascarehabilitasi penting. Terbukti dari tangkapan BNN yang semakin banyak. Pecandu berbeda dengan orang sakit. “Orang sakit akan mencari layanan kesehatan untuk sembuh sedangkan pecandu tidak, padahal mereka sakit berat,” ujarnya.
Hambatan layanan pascarehabilitasi salah satunya sulit mencari klien. Maka dari itu ia meminta pada konselor dan yayasan yang hadir, jika ada kerjasama yang baik antara pelaksana rehabilitasi dan pasca rehabilitasi, maka hambatan ini tidak akan terjadi. “Kesadaran untuk rehabilitasi diutamakan bukan berhenti,” ujarnya.
Terbatasnya anggaran program pascarehabilitasi juga menjadi hambatan. Target pascarehabilitasi tahun 2018 hanya 120 orang. Sedangkan target rehabilitasi sebanyak 170 orang. Sehingga tidak semua yang mengikuti program rehabilitasi dapat mengikuti program pascarehabilitasi. Untuk itu konselor diharapkan tetap melaksanakan pembinaan kepada klien melalui komunikasi langsung maupun tidak langsung.
Pembicara AA. Ngurah Tini Rusmini Gorda memaparkan tentang program rehabilitasi yang good, trust and smart. Program rehabilitasi yang good, trust, smart (GTS) menjadikan Penyalah Guna Obat Terlarang (PGOT) berdaya guna. Good, tidak hanya lembaganya yang bagus, namun juga SDM yang mengelola juga harus tepat. Lokasi juga sangat penting.
Trust, bisa muncul jika ada komitmen dan konsistensi dalam pengelolaan lembaga tersebut baik dari lembaganya maupun SDMnya. Dengan konsistensi, tidak membedakan klien satu dengan klien lain akan memunculkan kepercayaan pada lembaga rehabilitasi tersebut. “Ketidakpercayaan yang mungkin menyebabkan target klien yang harus direhabilitasi ini tidak tercapai,” ujarnya.
Agar dapat mengelola lembaga dengan good serta kepercayaan tetap ada, maka harus dikelola secara smart. Smart yang dimaksud adalah kreatifitas, inovasi, dan adaptif. “GTS ini adalah sebuah formula untuk bisa mengevaluasi lembaga tersebut, bisa menjadi melayani dari klien-klien,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)