Uang
Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Lembaga jasa keuangan (LJK) rawan digunakan untuk tindak pencucian uang (money laundering). Terutama menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 dan Pemilu 2019.

Menurut pemerhati ekonomi dan perbankan Prof. Dr. Gede Sri Darma, DBA, saat para calon peserta Pilkada melaporkan kekayaannya, bisa saja mereka menyembunyikan kekayaannya yang tidak wajar pada lembaga jasa keuangan (LJK). “Kalau menggunakan rekening bank, PPATK bisa melakukan pengawasan asal banknya nasional yang sudah online sehingga kemungkinan menggunakan bank, negatif,” ujarnya.

Begitu juga bank daerah, sangat kecil kemungkinan dijadikan alat pencucian uang karena diawasi BI dan bisa terpantau oleh PPATK. Sedangkan LJK seperti LPD dan koperasi tidak bisa terdeteksi, sehingga semua pihak harus mengawasinya.

Baca juga:  Tuntut Kejelasan Dana, Nasabah Temui Pengurus LPD Anturan

LJK lain yang rawan terhadap pencucian uang adalah asuransi. Ia mengatakan beberapa waktu lalu, asuransi marak digunakan sebagai alat untuk pencucian uang. Asuransi tidak terawasi oleh PPATK karena dianggap sebagai uang hilang.

Misalnya para calon membeli asuransi Rp 1 miliar. Sebesar Rp 200 juta untuk mencover risiko jiwanya, Rp 800 juta untuk investasinya. Nilai investasi ini suatu saat bisa ditarik. “Dia bisa saja kongkalikong dengan agen asuransinya,” ungkapnya.

Baca juga:  Orok Mengambang di Tukad Badung

Kepala KPw BI Bali Causa Iman Karana menerangkan, menjelang pemilihan kepala daerah, pencucian uang yang melibatkan perbankan sulit dilakukan. Karena bank kini sudah dilengkapi sistem penangkal yang kuat, know your customer (KYC) sebagai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang.

Sistem KYC dilaksanakan dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan yang dilakukan oleh pihak yang menggunakan jasa bank. Menurutnya, dengan aturan KYC, bank bisa melakukan antisipasi. “Misalnya, ada seorang nasabah dengan transaksi transfer dari rekeningnya sehari rata-rata biasa Rp 100 juta, tetapi tiba-tiba ada transfer Rp 100 miliar itu bisa dicurigai dan bisa dilaporkan ke PPATK,” bebernya.

Baca juga:  BRI Apresiasi Pengesahan UU Perlindungan Data Pribadi

PPATK berfungsi sebagai pengawas terhadap transaksi mencurigakan yang disampaikan oleh bank. Dengan adanya kerja sama dengan PPATK, secara tidak langsung bisa sejak awal menemukan transaksi mencurigakan tersebut sehingga dapat ditindaklanjuti. “Kami pun optimis perbankan relatif sudah memiliki penangkal yang kuat jika ada transaksi mencurigakan di luar profil nasabah selama ini,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *