DENPASAR, BALIPOST.com – Alih fungsi lahan yang marak terjadi untuk pembangunan rumah atau perumahan tidak bisa terelakkan. Apalagi dengan jumlah penduduk Bali yang semakin bertambah.
Salah satu solusi yang mengemuka untuk menekan alih fungsi lahan untuk perumahan adalah dengan membuat rumah vertikal (rumah susun).
Ketua Real Estate Indonesia (REI) Bali, Pande Agus Permana Widura melihat ke depannya, khususnya di Kabupaten Badung dan Denpasar akan sulit membeli lahan atau perumahan. “Jangan sampai menjadi penonton di tanah sendiri karena harga lahan sangat tinggi dan tidak terjangkau. Saya khawatir mereka tidak bisa membeli rumah di tempat mereka seperti di Denpasar dan Badung,” ungkapnya.
Dengan demikian yang akan menjadi tempat tinggalnya adalah rumah orang tuannya (umah). Pembangunan kamar akan dilakukan lagi. Menurutnya ini memperihatinkan karena rumah adat di Bali semakin tidak ada lagi. Di Bali backlog tempat tinggal sebesar 270.000. Ini cukup tinggi, bahkan Badung lebih tinggi lagi.
“Bukan mereka tidak ada tempat tinggal untuk mereka tempati. Ada, tapi sifat kepemilikannya sewa ataupun kos-kosan. Ini cukup memprihatinkan,” ujarnya. Maka dari itu pihaknya bersama organisasi Kadin dan IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) Bali akan bersama-sama menyuarakan hal tersebut.
Satu-satunya yang bisa dijangkau adalah dengan hunian vertikal. Dengan membuat hunian vertikal, harga rumah bisa relatif murah dibandingkan dengan rumah landed house. “Tentunya kita ingin menjaga kebudayaan itu sendiri. Kenapa saya bersama IAI ingin merancang ini. Apakah memungkinkan rumah tinggal vertikal tapi bernuansa Bali? Karena kalau dengan model ini, jangan sampai nuansa Bali hilang,” tandasnya.
Pihaknya menilai kondisi Bali sudah kritis. Pihaknya mengkhawatirkan ke depannya alih fungsi lahan bisa bertambah lagi. Memang tidak ada jaminan dengan hunian vertikal akan dapat menghentikan alih fungsi lahan. Akan tetapi setidaknya dapat meminimalisasi alih fungsi lahan.
Oleh karena itu, REI Bali yang mendapat bagian tugas menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) hanya bisa membangun di daerah pinggiran seperti Buleleng, Karangasem dan Jembrana. Rumah di kawasan ini tidak bisa ditempati oleh orang-orang yang bekerja di Denpasar dan Badung, karena akan macet dan polusi. “Sedangkan untuk di daerah mereka sendiri, di Buleleng, Karangasem, Jembrana, itu sudah bisa terakomodir. Yang saya khawatirkan adalah kabupaten lain dan kota dalam penyediaan rumah tinggal ini,” pungkasnya.
Waka Kadin Bali Bidang Perumahan, IGM Aryawan mengatakan, dalam kaitannya dengan minimalisasi alih fungsi lahan yaitu dengan penggunaan lahan yang maksimal. Dari sisi harga, dengan rumah landed tipe 36/100 rata-rata harganya di Denpasar adalah Rp 700 juta. Dengan harga itu, kemampuan masyarakat membeli rumah rendah. Namun jika dibuat rumah vertikal, harga rumah bisa ditekan menjadi Rp 400 juta. Ini lebih terjangkau oleh masyarakat yang berpenghasilan Rp 8 juta.
“Karena kalau rumah vertikal yang bersubsidi dengan maksimal gaji Rp 7 juta, di perkotaan itu bisa mendapatkan fasilitas dengan bunga 5 persen, juga uang muka 5 persen. Itu bisa membantu masyarakat di perkotaan untuk mendapatkan rumah subsidi,” bebernya.
Rumah susun bagi perkotaan menurutnya satu-satunya solusi untuk menekan alih fungsi lahan dan dapat menjangkau kemampuan masyarakat untuk membeli rumah di perkotaan. Namun di wilayah pinggiran, pihaknya berharap ke pemerintah daerah untuk mengecilkan luas kapling karena sekarang sesuai perda luasnya 100 meter persegi. Karena di Denpasar atau di Bali komponen harga tanah sangat tinggi untuk mewujudkan suatu perumahan. (Citta Maya/balipost)