JAKARTA, BALIPOST.com – Jaksa Agung HM Prasetyo berharap penanganan tindak pidana pelanggaran pemilu tidak dibatasi waktu, terutama untuk Pilkada Serentak 2018 yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Selain itu, ia juga menyoroti ancaman hukuman pidana pemilu yang kurang dari lima tahun sehingga tidak membuat efek jera.
Pembatasan waktu penanganan pemilu dinilai memberikan celah kepada pelaku pidana pemilu untuk mengulur waktu sehingga menghambat proses penyidikan yang akhirnya membuat pelaku terbebas dari jerat pidana. “Limitasi waktu dan terdapatnya beberapa delik dengan ancaman pidana di bawah lima tahun seringkali dijadikan celah hukum yang dimanfaatkan pelaku dengan cara mengulur waktu tindak pidana pemilu dan akhirnya kadaluarsa,” kata HM Prasetyo saat rapat kerja dengan Komisi III di Ruang Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (31/1).
Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) disebutkan batas waktu penyidikan 14 hari setelah pelanggaran ditemukan, sementara penuntutan 5 hari. Padahal, dalam KUHP, tindak pidana bisa ditangani selama pelanggaran ditemukan tanpa ada batas waktu tertentu seperti tindak pidana pemilu. Hal itu akan menimbulkan masalah jika ada pihak yang melaporkan saat pilkada atau pemilu selesai.
Oleh karena itu, ia meminta agar penindakan tindak pidana pemilu disesuaikan dengan KUHP yang menyatakan tindak pidana bisa ditangani selama pelanggaran ditemukan tanpa ada batas waktu tertentu seperti tindak pidana pemilu. Prasetyo mengingatkan saat ini peluang untuk melakukan tindak pidana dalam pemilu semakin beragam dengan adanya perkembangan teknologi. Salah satunya adalah berita bohong atau hoax.
“Salah satunya dengan sebar hoax menerapkan politik identitas yg memanfaatkan isu SARA, mempertentangkan suku, agama dan ras. Itu bahaya. Berpotensi menimbulkan kebencian. Pertentangan hingga ke akar rumput,” kata Prasetyo.
Hal lain juga diingatkan Prasetyo tentang adanya pihak-pihak yang bersengketa dalam pemilu dan biasanya datang melapor setelah hasil pemilu disahkan, bahkan paslon sudah dilantik menduduki jabatannya. Kondisi ini membuat ketidakpastian hukum.
Masih terkait pelanggaran pidana pemilu, Jaksa Agung HM Prasetyo juga mengkritik sidang sengketa hasil pemilu yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK), karena putusan yang diambil MK selama ini selalu berpegang pada jumlah suara yang disengketakan. Padahal, seharusnya putusan MK juga berpegang pada pelanggaran pemilu yang terjadi. (Hardianto/balipost)