MANGUPURA, BALIPOST.com – Penyaluran bantuan masyarakat (Hibah) di Kabupaten Badung, menjadi bintang alias topik hangat di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bukan tanpa alasan, bantuan yang disalurkan pemerintah setempat ini di nilai keluar dari norma yang telah diatur. Salah satunya, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang intinya dengan pedoman pengelola APBD bahwa by name by address pada hibah harus menjadi lampiran empat pada APBD.
Hal tersebut dikemukanan Inspektur Badung, Luh Putu Suryaniti, dalam Rapat Pimpinan (Rapim) yang diselenggarakan di gedung dewan, Senin (5/2). Mantan Kadisnaker Badung ini mengungkapkan, penekanan KPK ini disampaikan pada 16 Desember lalu.
“Terus dilakuan pemeriksaan selalu dengan hibah. Karena itulah kami sampaikan kepada pimpinan (Sekda Badung -red) untuk membicarakan kembali, sehingga di 2018 ini berjalan dengan baik,” ujarnya.
Selain penekanan dari KPK, masalah penyaluran hibah juga menjadi sorotan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), dan Mabes Polri. Jajaran penegak hukum ini meminta agar menyaluran Hibah di Badung dikembalikan pada norma yang telah diatur.
“Harapan kami, karena sudah menjadi temuan inspektorat propinsi, menjadi penekanan KPK, BPK juga sudah mewarning, ORI juga sudah datang ke bapak bupati memberitahukan kita. Mohon perhaitan bersama, sehingga kedepanya tidak menjadi kendala,” ungkapnya.
Lantas kenapa tidak menjadi temuan? Luh Suryaniti mengatakan pihaknya terus berupaya memberikan jawaban untuk meyakinkan pemeriksa jika hibah yang dijalankan telah mematuhi aturan yang berlaku. “Memang tidak menjadi temuan, karena kami berusaha menyampaikan argumen, tetapi tidak bisa setiap tahun argumen itu kami ulang terlebih pada KPK. Bahkan, untuk hibah kita diarahkan menggunakan e-hibah. Ini sudah menjadi rencana aksi KPK kepada kita,” jelasnya.
Menuruntya, penerapan hibah berbasis elektronik tersebut tidak hanya berlaku di Kabupaten Badung, melainkan seluruh kabupaten/kota di Bali. Di Badung sendiri, penerapan e-hibah akan diawali di 2018. “Di 2018 ini harus sudah terealisasai, karena rencana aksi ataupun rekomendasi KPK kita selesaikan di 2018. Mengawali inilah kita harus berbenah. Bagaimana caranya pada saat penyusunan APBD nanti by name by address berada di lampiran empat APBD, karena merupakan tindaklanjut dari temuan yang harus direalisaikan,” ungkapnya.
Disebutkan, penyimpangan dalam penyaluran hibah juga terungkap sistem e-proc, di mana prosedur pencairan hibah keluar dari mekanime, yakni keluar dari Permendagri dan Pergub. Seperti, proposal masuk dilakukan setelah penetapan SK penerimaan hibah, sedangkan evaluasi baru dilakukan oleh perangkat daerah terkait.
“Sudah ada SK, Naskah Pencairan Dana Hibah (NPHD) berbeda dengan SK terpaksan tidak dicairkan. Medadak datang proposal, proses tetap dilakukan mepetlah waktu pencairan SP2D dengan waktu eksekusi di lapangan. Awal Januari 2018 baru dicairkan, tetapi ketika kita bicara (NSPK) Norma Standar Prosedur dan Kreteria,” katanya seraya menambahkan kondisi ini akan menjadi kendala dan sulit dipertangungjawabkan dihadapan pemeriksa.
“Yang jelas tidak ada kata terlambat. Ini adalah langkah perbaikan,” pungkasnya.(parwata/balipost)