MANGUPURA, BALIPOST.com – Undang-undang terkait narkotika menganut double track sistem pemidanaan terhadap pecandu. Artinya orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan baik secara fisik maupun psikis, dapat dijatuhi hukuman pidana penjara atau pidana rehabilitasi.
Di sisi lain, tugas hakim, jaksa sebagai penuntut umum dan penyidik mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka mende-kriminalisasikan pengguna narkoba dengan menjatuhkan hukuman rehabilitasi. Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Bali Brigjen Pol. Drs. I Putu Gede Suastawa, saat menjadi narasumber dalam Rapat Koordinasi Tingkat Kabupaten dengan Dinas Terkait Dalam Rangka Koordinasi Antar Pemangku Kepentingan Tahun 2018. Adapun tema yang diusung yakni optimalisasi dan sinkronisasi program rehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika di wilayah Kabupaten Badung, Rabu (7/2) di Hotel Harris, Kuta.
Kegiatan ini dihadiri peserta terdiri dari penyidik, jaksa, perwakilan rumah sakit, yayasan rehabilitasi dan pihak yang terkait dalam pelaksanaan rehabilitasi di Kabupaten Badung.
“Beberapa hal yang perlu diwaspadai dalam pelaksanaan TAT (Tim Assesment Terpadu) yaitu kadang-kadang hasil TAT dijual orang luar. Hal ini dilakukan oleh sindikat yang berusaha menjatuhkan kredibilitas aparat serta mencari kelemahan dalam aspek hukum,” ujar Brigjen Suastawa, didampingi Kabid Rehabilitasi AKBP Nyoman Artana dan Kepala BNNK Badung AKBP Ni Ketut Masmini.
Sedangkan pembentukan TAT merupakan amanat Undang-undang nomor 35 tahun 2009 yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menkumham, Menkes, Mensos, Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala BNN tahun 2014 tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi. Tim Asesmen Terpadu ini adalah tim yang ditetapkan oleh pimpinan satuan kerja setempat berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional dan Badan Narkotika Nasional Provinsi.
Pada peraturan bersama tersebut dibentuk TAT berkedudukan di tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota. Terdiri dari tim dokter dan tim hukum yang bertugas melaksanakan analisis peran tersangka yang ditangkap atas permintaan penyidik yang berkaitan dengan peredaran gelap narkoba terutama pengguna, melaksanakan analisis hukum, analisis medis dan analisis psikososial serta membuat rencana rehabilitasi yang memuat berapa lama rehabilitasi diperlukan.
Evaluasi kinerja 2017, lanjut Suastawa, penegakan hukum personel Polri se-Bali sebanyak 647 kasus dan 733 tersangka atau klien. Sementara BNNP Bali dan jajararannya mengungkap 45 kasus dengan 48 tersangka.
Program rehabilitasi BNNP, instansi pemerintah dan komponen masyarakat adalah 530 klien. Sementara jumlah total rehabilitasi ditangani 1.311 orang, dimana prevalensi di Bali tahun 2016 yaitu 62.457 orang atau 2,02 persen dari populasi masyarakat Bali. “Sinkronisasi antar fungsi dan lembaga perlu dikuatkan. Pertama, back-up dari penyidik untuk menjangkau klien baik lewat penangkapan tanpa barang bukti maupun hasil sweeping. Kedua, sosialisasi program rehabilitasi dan lapor diri oleh semua komponen. Ketiga, unsur penegak hukum dapat menuntut dan memutuskan rehabilitasi atas rekomendasi TAT bagi yang berhak. Terakhir, peningkatan kualitas hasil rehabilitasi oleh semua pelaksana program rehabilitasi” ungkapnya.
Harapan kedepannya, masing-masing lembaga rehabilitasi melaksanakan pembenahan pada peningkatan pelayanan. Selain itu, pelaksanaan rehabilitasi pada standar minimal yang telah ditetapkan, penjangkauan klien tetap melaksanakan sosialisasi dan meningkatkan upaya sweeping dengan unsur terkait, serta meningkatkan koordinasi dukungan administrasi khususnya perjanjian kerja sama. (Kerta Negara/balipost)