Barang bukti yang diamankan dari karyawan hotel yang diduga melakukan pelecehan seksual pada wisatawan. (BP/ist)

Oleh : I Nyoman Winata

Media sosial benar-benar memberikan dampak luar biasa. Belajar dari kasus seorang pekerja hotel berinisial ADR di Bali yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap seorang wisatawan asing, maka kekuatan medsos terbukti dapat meluluhlantakan masa depan seseorang. Dipecat dari tempatnya bekerja bahkan kemungkinan juga tidak dapat bekerja di hotel lainnya di Bali. Padahal, dugaan pelecehan seksual sama sekali belum terbukti secara hukum. Satu-satunya pemicu hanyalah viralnya video di akun facebook dengan nama Aneka Baker yang menunjukkan ADR mengucapkan kata tidak senonoh setelah pemilik akun asal Selandia Baru meminta refund.

 

Tindakan pelecehan seksual harus disepakati bukan sebagai bukan hal sepele. Pelaku memang layak untuk diberikan hukuman pidana karena korban pelecehan seksual mengalami kerugian secara psikologis bahkan juga fisik. Namun demikian, tindakan pelecehan seksual dapat dikatakan berada diruang abu-abu terutama pada kasus pelecehan yang bersifat verbal tidak langsung yakni berupa ucapan. Demikian pula pada kasus pelecehan melalui perbuatan-perbuatan simbolis. Terkadang ucapan yang sebenarnya bercanda, bisa saja dianggap bentuk pelecehan seksual. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab mengapa pelecehan seksual tidak mudah untuk dibuktikan dalam proses hukum.

Baca juga:  Dosen Universitas Dhyana Pura, Lulus Program Doktor Pariwisata Unud Dengan Voluntourism

Seperti yang terjadi pada ADR, ketika polisi melakukan tindakan berupa pengusutan ternyata tidak mudah menemukan bukti hukum. Pihak Polsek Kuta yang menindaklanjuti kasus tersebut dengan berkonsultasi kepada saksi ahli, secara lisan didapatkan penilaian belum ada unsur pidana seperti yang diatur dalam UU Pornografi. Akhirnya, ADR belum bisa dijadikan tersangka dan hanya menjalani wajib lapor saja.

Penindakan secara hukum terhadap ADR juga memang terkesan tidak memiliki landasan yang jelas karena tidak ada laporan apapun dari korban ke polisi. Padahal kasus pelecehan seksual sangatlah membutuhkan adanya aduan dari korban. Dalam KUHP memang tidak terdapat pasal-pasal mengenai pelecehan seksual melainkan perbuatan cabul seperti yang diatur pada pasal 289 hingga pasal 296 KUHP. Dapat saja ADR dijerat dengan pasal perbuatan cabul, namun lagi-lagi yang dibutuhkan adalah aduan korban. Polisi kepada pers mengatakan ADR dijerat dengan UU Pornografi yang berarti tidak lagi sebagai kasus pelecehan seksual, melainkan karena ucapannya yang dianggap mengandung unsur pornografi.

Baca juga:  Optimalisasi Perpustakaan sebagai Sumber Belajar

Meski kasus yang menimpa ADR ini tidak akan mudah diusut secara hukum, secara sosial ADR menerima hukuman yang berat. Sayangnya adalah perbuatan ADR bisa jadi tidak benar-benar sebagai bentuk pelecehan seksual baik dari segi hukum maupun motif. Jika ADR kemudian harus menanggung beban akibat kehilangan pekerjaan dan bahkan tidak lagi dapat bekerja di bidang perhotelan, tentulah itu menjadi hukuman yang sangat amat terasa berat.

Baca juga:  P2M Dosen, Antara Tugas dan Panggilan Jiwa

Semuanya menjadi mungkin akibat dari media sosial yang sangat powerfull karena dalam beberapa hal kasus yang menimpa ADR adalah isu yang bersifat sensitif. Pertama karena yang mengunggah di medsos adalah wisatawan asing. Kedua, karena kejadiannya di Bali yang merupakan salah satu pusat pariwisata dunia yang sangat dipengaruhi oleh citra. Ketiga, kejadian tersebut berlangsung ketika pariwisata Bali terpuruk. Sebagai isu yang sensitif, publik pun kemudian menjadi gampang tersulut emosi dan menghakimi ADR di medsos. Ironisnya, penghakiman di medsos adalah penghakiman tanpa kesempatan membela diri namun mampu meluluhlantakan masa depan seorang berinisial ADR. Jika sudah seperti ini, siapakah yang diuntungkan dan paling dirugikan?

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *