JAKARTA, BALIPOST.com – Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) inisiatif DPD-RI tentang Hak atas Tanah Adat (HATA) dibahas Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) bersama akademisi di Ruang PPUU, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (7/2). Dua akademisi dihadirkan dalam rapat dengar pendapat umum yang dipimpin Ketua PPUU DPD RI, I Gede Pasek Suardika dengan agenda pembahasan RUU HATA.
Dua nara sumber itu adalah Prof. Dr Maria S.W Sumardjono, SH, MCL, MPA dan Prof. Dr I Made Suwitra SH, MH. Pada paparannya, Kepala Lembaga Penelitian Universitas Warmadewa Prof. Dr I Made Suwitra SH, MH mengingatkan konsep yang perlu dikembangkan dalam RUU HATA adalah konsep koeksistensi antara hukum negara dengan hukum adat. Artinya, hukum negara dengan hukum adat harus bersama-sama berjalan.
“Tidak saling menafikan. Sehingga nantinya hukum negara itu betul-betul bisa mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat. Kemudian masyarakat hukum adat juga mampu, eksis berkaitan dengan dirinya tanpa melanggar hukum negara,” terang Suwitra.
Konsep koeksistensi itu dinilainya penting di tengah arus jaman yang terus menggerus masyarakat adat. Sebab dari situlah, bisa ditentukan apakah masih eksis atau tidak masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia ini, sehingga pihak pengambil kebijakan dapat menentukan apa yang perlu dilakukan.
“Masyarakat hukum adat mana saja yang masih eksis sesuai ketentuan yang ada di dalam UUD 45 dan UU organik lainnya. Sehingga ketika masyarakat hukum adat sudah jelas keberadaannya kemudian diidentifikasi yang berkaitan dengan tanah-tanah adatnya dengan wilayah ulayatnya,” imbuh Suwitra.
Dalam pandangan Suwitra, masyarakat hukum adat di satu tempat secara pasti mampu memberikan batasan wilayah. Sehingga rumusan UU yang akan dibuat dalam konteks itu berkaitan dengan tanah-tanah yang dimanfaatkan.
Pada beberapa kasus, sebenarnya konflik mengenai sengketa lahan selama ini bukan pada masalah pemberlakuan hukumnya tetapi pada struktur hukum yang menerapkan antara hukum negara dengan hukum adat tersebut. Terkait masalah ini, Suwitra menekankan salah satu yang jelas disebutkan adalah tanah-tanah adat yang sudah ditundukkan pada hukum negara dalam bentuk UU Pokok Agraria maka tidak bisa lagi ditundukkan lagi pada hukum adat.
Misalnya tanah yang sudah disertifikatkan menjadi tanah individu yang dulunya tanah komunal kemudian dikuasai individu. “Nah, begitu tanah-tanah yang dikuasai yang ada ikatan dengan adat kemudian disertifikatkan, tidak ada lagi ikatan dengan hukum adat,” tegasnya.
Pada rapat tersebut, Suwitra menyampaikan apabila mengambil contoh, Bali sebenarnya yang paling utuh memiliki dalam penggunaan hukum adatnya atas kepemilikan tanah individu dan komunal. “Baik badan persekutuan hukumnya maupun hukumnya itu sendiri yang disebut awig-awig. Kalau di tempat lain saya justru melihatnya gamang, atau tidak jelas. Mana masyarakat hukum adatnya, mana awignya, mana kepala adatnya. Tetapi selalu mengklaim ini tanah adat,” katanya.
Oleh karena itu, Suwitra berpendapat RUU HATA dapat membuat rumusan umum mengenai hal-hal yang ada di Bali berkaitan dengan pembentukan UU HATA tersebut. Misalnya, hal-hal individual secara konsep bisa dirumuskan menjadi hal-hal yang lebih umum. Lalu dari konsep itu bisa diberlakukan menjadi hukum negara atau hukum positif nasional ke seluruh Indonesia. “Karena ada hak yang dikuasai secara individu, ada hak yang dikuasai secara komunal. Untuk jenis-jenisnya, biar diserahkan kepada masyarakat hukum adat untuk merincinya,” tandasnya. (Hardianto/balipost)