BANYUWANGI, BALIPOST.com – Gerakan warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Banyuwangi, Jawa Timur menuntut tanah warisan yang dikelola Perhutani, terus berlanjut. Setelah pekan lalu ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), giliran kantor Perhutani didatangi warga, Kamis (8/2).
Kali ini, warga mempertanyakan sejarah Perhutani mengelola tanah yang diklaim milik warga tersebut. Di kantor Perhutani, massa yang jumlahnya sekitar 300 orang bekumpul di depan pintu gerbang. Orasi dilontarkan. Isinya, mereka meminta Perhutani memberikan data sejarah kenapa lahan yang dibuka oleh warga itu bisa menjadi tanah negara.
Lalu, dikelola oleh KPH Perhutani Banyuwangi Barat. Orasi hanya berlangsung beberapa menit. Perwakilan warga kemudian diterima jajaran KPH Perhutani Banyuwangi Barat. “Intinya, kami mewakili warga ingin meminta klarifikasi, kenapa Perhutani bisa mengelola lahan warisan warga. Sejarahnya bagaimana,” kata Abdillah Rafsanjani, koordinator aksi.
Pria yang juga Ketua LSM Forum Suara Blambangan ini menjelaskan warga memiliki bukti hak lama atas tanah yang kini dikelola Perhutani. Dari luas sekitar 3000 hektar, Perhutani ikut mengelola lahan tersebut. Sisanya, sekitar 1180 hektar dikelola oleh perusahaan swasta, PT Bumisari. “Istilah Perhutani itu baru ada sekitar tahun 1961. Padahal, warga memiliki bukti hak lama yang dikeluarkan Bupati Banyuwangi tahun 1929,” jelasnya.
Abdillah menambahkan, pihaknya sengaja mengikuti prosedur administrasi untuk meminta hak tanah warisan warga tersebut. Salah satunya, meminta kronologis pengelolaan tanah yang dilakukan Perhutani. “ Kami meminta kronologis secara resmi. Jika memang ada kesalahan administrasi, kita bisa meminta lembaga hukum mengusutnya,” tegasnya.
Jika tanah itu terbukti milik warga, kata dia, seharusnya ada ganti rugi dari negara. Sementara itu, Administratur KPH Perhutani Banyuwangi Barat, Aris Indra Supartha menegaskan pihaknya memiliki bukti dokumen lengkap terkait tanah yang diklaim warga tersebut. Pejabat ini menjelaskan, pihaknya hanya berstatus mengelola. Tanah itu, statusnya milik negara di bawah Kementerian Kehutanan.
“Kalau warga memiliki bukti hak lama, kami juga memiliki bukti dokumen lengkap dan valid hingga batas-batasnya. Nanti, akan kami jawab tertulis permintaan warga,” tegasnya.
Ditambahkan, PT Bumisari yang mengelola lahan yang diklaim warga tidak ada kaitannya dengan Perhutani. Sebab, Hak Guna Usaha (HGU) biasanya melibatkan Pemkab bersama BPN.
Klaim lahan ini mencuat setelah warga memiliki bukti kepemilikan lahan warisan berdasarkan surat keterangan berbahasa Belanda dari Bupati Banyuwangi Ahmad Noto Hadi Soeryo tertanggal 11 Januari 1929. Versi warga, ketiga leluhurnya, Doelgani, Karso dan Senin mendapatkan izin membuka lahan dari Bupati. Luasnya 4000 bahu, setara 3000 hektar. Namun, sejak kemerdekaan RI tahun 1945, lahan tersebut diserahkan ke Jawatan Kehutanan RI. Kini, menjadi Perhutani. Padahal, tanah itu bukan milik Belanda yang bisa diambilalih pemerintah setelah kemerdekaan. (budi wiriyanto/balipost)