JAKARTA, BALIPOST.com – Rapat paripurna DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (12/2), menyetujui revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) disahkan menjadi undang-undang. Pengesahan diwarnai aksi walk out (WO) Fraksi NasDem dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly hadir mewakili pemerintah. Rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga diikuti Ketua DPR Bambang Soesatyo, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan, dan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto. Sebanyak 286 dari 560 anggota DPR memenuhi ruang paripurna.
Sebelum disahkan, Ketua Badan Legislatif DPR Supratman Andi Agtas menyampaikan ada 13 subastasi materi yang terdapat dalam draf RUU revisi UU MD3. Pembahasannya telah melalui berbagai perdebatan panjang 10 fraksi yang ada di DPR bersama pemerintah yang diwakili Menkum dan HAM.
Adapun substansi pertama mengenai penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD, serta menambah wakil pimpinan MKD. Kedua, mengenai perumusan kewenangan DPR dalam membahas RUU yang berasal dari presiden dan DPR, maupun RUU yang diajukan DPD. Ketiga, penambahan rumusan mengenai pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap pejabat negara atau masyarakat yang akan melibatkan kepolisian.
Keempat, penambahan rumusan mengenai penggunaan hak interpletasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada pejabat negara. Kelima, menghidupkan kembali Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR.
Keenam, penambahan rumusan kewenangan Badan Legislasi (Baleg) dalam penyusunan RUU serta pembuatan laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang hukum. Ketujuh, perumusan ulang terkait tugas dan fungsi MKD.
Kedelapan, penambahan rumusan kewajiban mengenai laporan hasil pembahasan APBN dalam rapat pimpinan sebelum pengembilan keputusan pada pembicaraan tingkat I. Kesembilan, penambahan rumusan mekanisme pemanggilan WNI atau WNA yang secara paksa dalam hal tidak memenuhi panggilan panitia angket.
Kesepuluh, penguatan hak imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas. Kesebeles, penambahan rumusan wewenang dan tugas DPD dalam memantau dan mengvaluasi rancangan Perda dan Perda.
Keduabelas, penambahan rumusan kemandirian DPD dalam penyusunan anggaran. Penambahan rumusan terkait pelaksanaa tugas Badan Keahlian Dewan. “Terakhir penambahan rumusan jumlah dan mekanisme pemilihan pimpinan MPR, DPR, dan Alat Kelengkapan Dewan hasil pemilu tahun 2014 dan ketentuan mengenai mekanisme pimpinan MPR, DPR, serta Alat Kelengkapan Dewan (AKD) setelah pemilu tahun 2019.
Pasal Kontroversi
Salah satu pasal kontroversial dalam revisi UU MD3 tersebut ada pada pasal 122 huruf k yang berbunyi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
“Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR,” demikian bunyi rumusan pasal tersebut.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menjelaskan pasal tersebut dimaksudkan agar tidak ada kriminalisasi terhadap apa yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari DPR RI, terutama dalam memberikan kritik terhadap pemerintah. “Terutama tupoksi dalam hal mengkritisi pemerintah,” kata Fadli.
Pasal tersebut dinilai berfungsi untuk menjamin kehormatan kelembgaan DPR dan anggotanya. MKD diberi kewenangan memanggil dan memeriksa pihak yang diduga merendahkan kehormatan dewan dan dan anggotanya.
Jika yang menghina sebuah lembaga negara maka akan ditindaklanjuti dengan hak yang melekat pada DPR seperti memunculkan hak interpelasi, angket, dan lainnya. Bahkan, sebuah lembaga negara yang tidak hadir dalam undangan rapat yang diselenggarakan DPR dan dikategorikan sebagai bentuk penghinaan maka dapat diambil tindakan tegas.
Kemudian, jika yang menghina perorangan, MKD nantinya akan memeriksa orang tersebut. Jika ditemukan ada unsur penghinaan, MKD bisa mengambil langkah hukum dengan melaporkannya ke polisi.
Fadli mengatakan rumusan pasal ini nantinya akan ditindaklanjuti lebih lanjut melalui perubahan Tata Tertib DPR. “Selanjutnya akan ada pembahasan dan juga tata tertib yang perlu untuk dibicarakan terkait hal ini. Tentu saja saya tidak bisa melangkahi apa yang belum terjadi,” kata Fadli. (Hardianto/balipost)