JAKARTA, BALIPOST.com – PT Taspen (Persero) mencatat pembayaran klaim sepanjang tahun 2017 mencapai Rp 9,6 triliun atau membengkak sebesar 18,39 % dari Rp 8,1 triliun pada tahun sebelumnya. “Membengkaknya jumlah klaim tersebut dipicu oleh angka kematian Pegawai Negeri Sipil (PNS) khususnya pada usia masih sangat produktif terus meningkat,” kata Dirut PT Taspen Iqbal Latanro saat public expose kinerja perseroan di Jakarta, Senin (12/2).
Menurut Iqbal, rata-rata PNS yang meninggal dunia pada usia 46-55 tahun dan jumlahnya cukup tinggi di atas RKAP (Rencana Kerja Anggaran Perusahaan), yakni hingga mencapai 60%. “Makanya klaimnya tinggi. Kalau saya, umur sudah di atas itu, berarti aman,” ujarnya berseloroh.
Hal ini, menurut Iqbal, berbanding lurus dengan jumlah premi atau iuran yang juga mengalami pertumbuhan sebesar 4% dari Rp 7,47 triliun di 2016 menjadi Rp 7,81 triliun di 2017. Pencapaian tersebut terdiri dari JHT (Jaminan Hari Tua) sebesar Rp 8,42 triliun atau tumbuh 19%, JKK (Jaminan Kecelakan Kerja) Rp 300 miliar atau tumbuh 242% dan JKM (Jaminan Kematian) Rp 890 miliar atau tumbuh 18%.
Menurut mantan Dirut BTN ini, laba bersih Taspen pada 2017 mencapai Rp 721 miliar. Angka tersebut naik 191% dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp 247 miliar. Capaian laba bersih tersebut telah melebihi target RKAP perseroan sebesar 105% atau Rp 689,4 miliar.
Iqbal tidak menampik beban usaha mereka juga turut naik. “Kita punya beban usaha walaupun pendapatan naik, operasional juga naik. Ke depan strategi Taspen akan dorong capaian laba anak perusahaan,” tuturnya.
Sementara itu, perolehan premi dan iuran tercatat Rp 7,8 triliun atau naik 4,45% dari posisi Rp 7,4 triliun di tahun 2016. Hasil investasi naik 6,97% dari Rp 7 triliun menjadi Rp 7,5 triliun.
Aset perseroan juga mengalami kenaikan 15,99% menjadi Rp 230 triliun dibandingkan Rp 198,6 triliun pada periode yang sama tahun 2016.
Sementara itu, untuk total aset investasi tahun 2017 mencapai Rp 209 triliun atau naik 24,9%. Total aset investasi tersebut terdiri dari obligasi, sukuk (surat berharga syariah), dan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beracun Aset (KIK EBA) sebesar Rp 139 triliun, deposito Rp 26,4 triliun, dan saham reksadana dan lainnya sebesar Rp 41,2 triliun. (Nikson/balipost)